WARNING


Posted by
Calung Blogger

More

Tabaruk kepada selain Alloh termasuk musyrik


MUSYRIK ADALAH MENDUAKAN ALLOH ATAU MENYEKUTUKAN ALLOH SWT

YAITU DIA BERIBADAH KEPADA ALLOH TETAPI MASIH BERSANDAR TERHADAP SESUATU YANG DIANGGAP DAPAT MEMBERIKAN BANTUAN. DAN INI DIANGGAP PERBUATAN MUSYRIK KEPADA ALLOH SWT.
PERBUATAN MUSYRIK INI BANYAK JENISNYA SEPERTI : TABARUK, TAMIMAH, RIYA, GHULUW, TATHAYYUR, BERSUMPAH DENGAN SELAIN NAMA ALLOH DAN BANYAK LAGI".

"TABARUK" YAITU MENGGANTUNGKAN NASIB KEPADA SESUATU SELAIN ALLOH SEPERTI MEMINTA KEBERKAHAN KEPADA BATU, GUNUNG, TEMPAT YANG DIKERAMATKAN (KUBURAN), BINATANG, POHON, MANUSIA DAN LAIN SEBAGAINYA. TABARUK ITU BERMACAM-MACAM ANTARA LAIN :

- TABARUK KEPADA BATU, ARTINYA MENGANGGAP BATU CINCIN ATAUPUN LAINNYA MENDATANGKAN KEWIBAWAAN, ILMU PELET, MENDATANG RIZKI DSB.

- TABARUK KEPADA GUNUNG, MEMPERCAYAI BAHWA GUNUNG YANG DIANGGAP KERAMAT BISA MENDATANGKAN KEBERUNTUNGAN, SEHINGGA ORANG MENYEBUTNYA GUNUNG SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN.

- TABARUK TERHADAP TEMPAT, ARTINYA JIKA SESEORANG MENDATANGI TEMPAT APAKAH ITU KAMPUNG, MAKAM, DANAU DENGAN PERINTAH SECARA MISTIK DIANGGAP BISA MENDATANGKAN KEBERKAHAN. 

- TABARUK TERHADAP MANUSIA, MANUSIA DIANGGAP BERTUAH DENGAN MANTRA-MANTRA ATAU DOA-DOANYA BISA MENDATANGKAN KEBERUNTUNGAN, SEPERTI DUKUN, AHLI NUJUM, AHLI SIHIR DAN LAIN-LAIN DARI MANUSIA YANG MENGANGGAP DIRINYA BERTUAH, SEPERTI KATA-KATA MEREKA " KALAU BUKAN SAYA KAMU TIDAK AKAN MENJADI KAYA", INILAH SALAH SATU SIFAT FIR'AUN YANG DIMILIKINYA.

TABARUK TERHADAP BINATANG DAN POHON JUGA SAMA-SAMA DIGANGGAP MEMILIKI  KEAJAIBAN BISA MENDATANGKAN KEBERKAHAN. SEAKAN MEREKA LUPA BAHWA SEMUA MAHLUK HIDUP ADA PENCIPTA-NYA. JADI YANG MEMBERIKAN KEBERKAHAN ITU SIAPA, KALAU GUNUNGNYA MELETUS, POHONNYA TUMBANG ATAU TANAHNYA GEMPA, APAKAH ADA ANGGAPAN BAHWA APA YANG DISANDARINYA ITU MEMBAWA KEBERKAHAN, PASTI JAWABANNYA MASIH ADA, DI TEMPAT LAIN MASIH BANYAK. ATAU KETIKA PENYEMBAH PATUNG ATAU BERHALA KETIKA PATUNG ITU TUBUHNYA BERANTAKAN KARENA GEMPA, PASTI MENGATAKAN MASIH BANYAK PARA TUKANG PAHAT  UNTUK MEMBUAT BERHALA YANG LEBIH BARU LAGI. BAGAIMANA TIDAK DISEMBAH-SEMBAH, DENGAN ADANYA PATUNG-PATUNG   ITU MEREKA MERASA BANGGA DAN KAGUM, SEMENTARA MEREKA TIDAK TAHU SI PEMBUAT PATUNGNYA ITU SIAPA?". NAH INILAH MALAPETAKA YANG TIDAK MUNGKIN BISA DIHILANGKAN DALAM TRADISI JAHILIAHNYA, KARENA MEREKA PERCAYA INI ADALAH HASIL JERIH PAYAH NENEK MOYANG YANG TIDAK BISA DIHILANGKAN BEGITU SAJA. 

DAN PERBUATAN TABARUK INILAH YANG DIMAKSUD PERBUATAN MUSYRIK, YAITU MENGANGGAP SELAIN ALLOH BISA MENYAMAI ATAU MELEBIHI KEKUASAAN ALLOH. YANG MEREKA KATAKAN " DENGAN MEMINTA KEPADA ALLOH TIDAK DIKABULKAN, TERNYATA MINTA KEPADA GUNUNG, POHON, BINATANG, TEMPAT-TEMPAT DAN MANUSIA ITU SENDIRI KO BISA..." BERARTI MENGANGGAP CIPTAAN ALLOH LEBIH BISA DAN LEBIH PANDAI.

PADAHAL DENGAN BERTABARUK SEPERTI ITU, NANTI DI HARI KIAMAT AKAN MENDATANGKAN AZAB TERHADAP PELAKUNYA, KARENA YANG DITABARUKNYA AKAN MENGHUJAT..."

MELALUI PENJELASAN KITAB TAUHID YANG DITULIS OLEH SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB PADA BAB 9, ALLOH SWT BERFIRMAN YANG ARTINYA :

BERITAHUKANLAH KEPADAKU (HAI ORANG-ORANG MUSYRIK) TENTANG AL LATA DAN AL 'UZZA DAN MANAT YANG KETIGA YANG PALING TERKEMUDIAN? APAKAH (PATUT) UNTUK KALIAN (ANAK) LAKI-LAKI DAN UNTUK ALLOH (ANAK) PEREMPUAN? YANG DEMIKIAN ITU TENTULAH SUATU PEMBAGIAN YANG TIDAK ADIL. ITU TIDAK LAIN HANYALAH NAMA-NAMA YANG KALIAN DAN BAPAK-BAPAK KALIAN MENYEBUTNYA; ALLOH TIDAK MENURUNKAN SUATU SULTHAN'-PUN (HUJJAH TENTANGNYA). TIDAKLAH YANG MEREKA IKUTI SELAIN SANGKAAN-SANGKAAN DAN APA YANG DIINGINI OLEH HAWA NAFSU MEREKA. DAN SESUNGGUHNYA TELAH DATANG HIDAYAH KEPADA MEREKA DARI RABB MEREKA (AN-NAJM : 19-23). 

FAEDAH DARI AYAT TERSEBUT :

1. BERTABARUK KEPADA PEPOHONAN, BEBATUAN DSB ADALAH SYIRIK
2. DISYARIATKANNYA MENDEBAT KAUM MUSYRIKIN UNTUK MEMATAHKAN KESYRIKAN DAN MENEGAKKAN TAUHID.
3. SEBUAH HUKUM TIDAKLAH DITETAPKAN KECUALI DENGAN DALIL DARI KITAB YANG DITURUNKAN ALLOH, TIDAK BOLEH SEKEDAR SANGKAAN DAN HAWA NAFSU.
4. ALLOH TELAH MENEGAKKAN HUJJAH MELALUI PARA RASUL YANG DIUTUS DAN KITAB-KITAB YANG DITURUNKANNYA.

KESYIRIKAN INI BUKAN HANYA PERBUATAN TABARUK JUGA PERBUATAN LAIN SEPERTI TAMIMAH MENJADIKAN JIMAT TERHADAP BENDA-BENDA YANG DIANGGAP BERTUAH SEPERTI : KERIS, BATU CINCIN, ISIM (KAIN YANG DITULISI LAPAZ HURUF ARAB ATAU BAHASA LAINNYA) DAN LAIN SEBAGAINYA.

FIRMAN ALLOH SWT DAN HADITS-HADITS LARANGAN UNTUK MEMAKAI TAMIMAH :


DALAM SURAT AZ-ZUMAR AYAT 38 ALLOH BERFIRMAN YANG ARTINYA: 


KATAKANLAH ; MAKA KABARKANLAH KEPADAKU TENTANG APA YANG KAMU SERU (IBADAHI) SELAIN ALLOH, JIKA ALLOH HENDAK MENDATANGKAN KEMUDHARATAN (BAHAYA /MALAPETAKA) KEPADAKU, APAKAH BERHALA-BERHALAMU ITU DAPAT MENGHILANGKAN KEMUDHARATAN ITU, ATAU JIKA ALLOH HENDAK MEMBERI RAHMAT KEPADAKU, APAKAH MEREKA DAPAT MENAHAN RAHMATNYA? KATAKANLAH " CUKUPKANLAH ALLOH BAGIKU " KEPADA - NYALAH BERTAWAQAL ORANG-ORANG YANG BERSERAH DIRI (AZ-ZUMAR:38).


KEMUDIAN HADITS RIWAYAT AHMAD DARI SAHABAT UQBAH BIN AMIR SECARA MARFU: BARANG SIAPA YANG MENGGGANTUNGKAN TAMIMAH (JIMAT) MAKA SEMOGA ALLOH SWT TIDAK AKAN MENYEMPURNAKAN URUSANNYA. BARANG SIAPA YANG MENGGANTUNGKAN WAD'AH (BENDA LAUT SERUPA RUMAH KERANG UNTUK MENGHINDARI PENYAKIT 'AIN) MAKA SEMOGA ALLOH SWT TIDAK AKAN MENENANGKAN (MERINGANKAN) APA YANG DIA TAKUTKAN".


PADA RIWAYAT LAIN :


BARANG SIAPA YANG MENGGANTUNGKAN TAMIMAH MAKA DIA TELAH BERBUAT SYIRIK.


ORANG YANG BERTABARUK ATAU BERTAMIMAH INI HIDUPNYA ITU TIDAK AMAN DAN NYAMAN, KARENA TAKUT KEHILANGAN JIMAT ATAU SESUATU YANG DITABARUKINNYA. SEPERTI JIKA DIA MELAKSAKNAKAN PEKERJAAN KEMUDIAN TIDAK MENDATANGKAN KEBERUNTUNGAN KARENA KETINGGALAN JIMATNYA, MAKA MEREKA BERCELOTEH " WAH KARENA BATU CINCINKU KETINGGALAN, AKU NGGAK DAPAT DUIT HARI INI.." INI SAKING CINTA-CINTANYA BERTABARUK, HINGGA BENDA SAJA DIANGGAP TUHAN. PADAHAL ITU KAN BUATAN MANUSIA KEMUDIAN DIDALAMNYA ADA APA  SIH, PALING ADA JIN ATAU SYETAN ATAU LEBIH SOPAN MEREKA KATAKAN KHODAM.


KEMUDIAN KALAU BATU CINCINNYA DIPALU HINGGA PECAH, KEMUDIAN SETELAH BATUNYA PECAH TAK BERGUNA, APAKAH MEREKA MENANGIS KARENA YANG MENJADI TAMIMAHNYA MATI ATAU KABUR DISEBABKAN RUMAHNYA RUSAK, TIDAK.., MEREKA TIDAK MENANGIS.


PASTI MEREKA AKAN LEBIH HEBAT LAGI MENCARI SESUATU DIANGGAP TUHAN SELAIN ALLOH SWT. SEBAGAI PENGGANTINYA, BARU SETELAH MEREKA DIBERIKAN AZAB ATAU MALAPETAKA DAN AZAL MENJEMPUT MEREKA SADAR, BAHWA SEGALA SESUATU YANG MEMBERIKAN KEBERKAHAN DAN KEBERUNTUNGAN BUKAN BENDA YANG DIANGGAP TUHAN, MEREKA BISA SAJA MENYEBUT YANG MEMBERIKAN KEKUASAAN ADALAH ALLOH SWT, ITU KALAU BERTOBAT. KALAU SAMA  SEKALI TIDAK INGAT ALLOH, MAKA CELAKALAH--CELAKALAH...CELAKALAH.. MEREKA.


MATI DALAM KEADAAN MUSYRIK MAKA NERAKALAH TEMPATNYA, SEBAGAIMANA HADITS ROSULULLOH SAW :


DALAM SEBUAH RIWAYAT MUSLIM DARI JABIR RODIYALLOHUAN BAHWA ROSULULLOH SAW BERSABDA " BARANG SIAPA MENEMUI ALLOH SWT DALAM KEADAAN TIDAK MENYEKUTUKANNYA DENGAN SESUATUPUN, PASTI DIA MASUK SYURGA. DAN BARANG SIAPA YANG MENEMUI ALLOH SWT DALAM KEADAAN MENYEKUTUKAN-NYA DENGAN SESUATU PASTI DIA MASUK NERAKA."


HADITS LAIN :

DARI IBNU MAS'UD RODIYALLOHUAN BAHWA ROSULULLOH SAW BERSABDA : BARANG SIAPA YANG MENINGGAL DALAM KEADAAN DIA BERDOA (BERIBADAH) KEPADA TANDINGAN BAGI ALLOH SWT PASTI DIA MASUK NERAKA (HR. AL-BUKHARI)



SUMBER : KITAB TAUHID : SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB.

Catatan :
Kitab yang ditulis dari kitab ini seluruhnya bersumber :
- Al-quran
- Hadits Shahih



Posted by
Calung Blogger

More

Bid'ah Makin merajalela

Menjadikan atau memperbaharui hari yang dikeramatkan oleh kebanyakan orang dikatakan sebagai ibadah, seperti juga dalam islam banyak hari-hari tertentu dijadikan hari raya atau menjadikan kegiatan-kegiatan yang tertentu. Dan menurut anggapan islam yang berkiblat pada hal yang bid'ah itu boleh-boleh saja secara hukum adat yang mereka anut  menurut tradisi yang mereka pahami , yang secara pasti tradisi-tradisi ini tidak akan pernah mereka tinggalkan sampai hari Kiamat, terkecuali bagi orang-orang yang diberi hidayah oleh Alloh SWT.

Tetapi dalam islam Ahlussunah yang mengikuti Al-quran dan Al-Hadits justru mengada-adakan hal yang perkara baru yang tidak dilakukan Rosululloh SAW dalam ibadah adalah merupakan perbuatan Bid'ah. Dan ini sudah semakin jelas dan menjadi kenyataan bahwa bid'ah  itu memang tidak pernah dilakukan Rosululloh SAW.  Karena sewaktu nabi hidup beliau tidak pernah mengulang tahun tentang kelahiran dirinya, dan tidak pernah merayakan hari kelahiran nabi-nabi sebelumnya. Hanya nabi telah menetapkan hari-hari raya yang dianjurkan adalah hanya 3 hari raya yaitu : Hari raya Idul fitri, Idul Adha (wajib) dan Hari Jum'at (wajib), dan ketiga hari raya memang dilaksanakan di jaman Rosululloh SAW yang kemudian diikuti oleh para sahabat, tabiin, thabiut tabiin dan generasi selanjutnya (Manhaj Salaf) yang mengikuti akhlak Rosululloh SAW.

Perayaan-perayaan selain 3 hari  raya yang disebutkan tadi, ini sebetulnya muncul ke permukaan setelah umat-umat lainnya memperingati hari-hari besarnya seperti Hari Paskah dan Natal oleh Umat Kristen, Hari raya galungan oleh umat Hindu dan hari raya waisak oleh umat budha. 

Secara nyata umat islam ini hanya ikut-ikutan saja atau mengikuti umat agama sebelum islam. Bisa  jadi dengan merayakan hari-hari ulang tahun itu umat islam secara umum merasa ketinggalan zaman. atau karena merasa tidak bergengsi. 

Padahal jika dikaji dengan benar buat apa berhura-hura kalau tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh SAW, yang pada kenyataannya dengan mengadakan perayaan-perayaan tersebut maka akan terjadi kelalaian terhadap ibadah yang diperintahkan oleh Alloh SWT. Salah satu contoh dengan perayaan-perayaan itu banyak orang tidak bisa melakukan shalat pada waktunya, bahkan sama sekali meninggalkan kewajibannya itu, lebih-lebih dengan perayaan itu banyak remaja berbuat brutal di jalan dengan membunyikan petasan dan meraung-raungkan kendaraan, ini bisa mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang lain. 

Padahal jikalah beriman kepada Alloh dan Rasulnya, cukuplah mengerjakan apa diperintahkan dalam Al-quran dan mengikuti ahlak Rosululloh SAW, kalau memang ingin benar-benar dianggap orang beriman. Karena semua perintah itu dalam Al-quran hanya ditujukan kepada orang beriman saja, Dengan kata " Ya ayyuhaladzina Ammanu",  seperti di puasa di Ramadhan pasti perintah itu yang muncul perintah itu ditujukan hanya kepada orang-orang beriman saja. (Al-Baqoroh : 183). Beriman disini tentunya orang selalu taqwa dan taat kepada Alloh SWT didalam menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan merealisasikan " Amar Ma'ruf Nahi Munkar" dan tidak menyekutukannya dengan selain Alloh SWT.

Jadi seorang muslim yang banyak belajar di pondok pesantren  itu jangan kalah imannya oleh orang yang tidak pernah mondok di pesatren, tapi justru mereka tak kalah hebat dalam masalah agama bersungguh-sungguh dalam memahami Al-quran dan Al-Hadits. Jadi orang beriman itu hidupnya tidak pernah makar terhadap negara atau pemerintah, tidak beradu pemahaman atau otot dengan seagama hanya perbedaan pendapat atau hanya informasi bersifat provokatif, ternyata mudah diadu domba oleh orang yang  tidak bertanggungjawab yang tidak tentu agamanya. Apalagi di bulan suci Ramadhan ini nafsu bagi orang puasa (shaum) harus dikendalikan, jika tidak, buat apa berpuasa, tidak ada artinya sama sekali. Ibarat seorang islam yang rajin shalat tetapi kesehariannya berbuat musyrik, tangtulah ibadah shalatnya itu tidak diterima oleh Alloh SWT. Iman itu bukan hanya kepercayaan atau perkataan saja, melainkan terfokus kepada pelaksanaannya sesuai dengan hati nurani, dan iman itu tidak pudar dengan bentuk apapun, baik materi atau motivasi.  Jadi kata orang sunda itu " Ongkoh nu diibadahan teh ka Alloh, geuning ka salian Alloh oge dipuntangan".  (lihat surat Al-Fatihah :5, yang artinya "Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu meminta pertolongan.

Adu domba ini memang tidak akan pernah berhenti sampai hari Kiamat, Kenapa bisa demikian " Karena dalam sebuah hadits Rosululloh SAW yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab " Bahwa umat islam ini akan terpecah menjadi 73 firkoh atau golongan dan hanya satu saja yang masuk syurga yaitu "Ahlussunah Waljamaah" dan ini memang  benar apa yang dikatakan Rosululloh SAW, bahwa dalam kenyataannya  islam tidak pernah bersatu.


Posted by
Calung Blogger

More

Hukum memberikan hadiah dalam islam

Segala puji hanya bagi Allah. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Amma ba’du.Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi, bahwa hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya senantiasa terulang setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan selainnya. Dengan hadiah, terwujudlah kesempurnaan untuk meraih kecintaan, kasih sayang, sirnanya kedengkian, dan terwujudnya kesatuan hati.Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati, padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Dan oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits di dalam Shahihnya (2585), dan hadits ini memiliki hadits-hadits pendukung yang lain. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang makanan tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?” Apabila dikatakan, “Shadaqah” maka beliau berkata kepada para shahabatnya, “Makanlah!” Sedangkan beliau tidak makan. Dan apabila dikatakan “Hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan tangannya (tanda penerimaan beliau -pent). Lalu beliau makan bersama mereka. (HR. Al Bukhari [2576] dan Muslim [1077]). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, lihat Shahihul Jami’ [3004] dan Al Irwa’ [1601])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,“Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan Shahihul Jami’ Ash Shaghir [158]). Dan dikarenakan sangat pentingnya dan pengaruh hadiah di dalam perikehidupan kaum muslimin serta perhatian Islam terhadapnya mengharuskan untuk dijelaskannya perkara-perkara yang berkaitan dengan hadiah berupa keadaan-keadaan, hukum-hukum, apa-apa saja yang diperbolehkan dari hadiah tersebut serta yang tidak diperbolehkan.
Pengertian Hadiah (Al-Athiyah, pemberian -pent)
Menurut istilah syar’i, maka hadiah ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat. Dan di sana ada sisi keumuman dan kekhususan di kalangan para ulama antara hibah, pemberian (athiyah) dan shadaqah. Dan poros definisi di antara tiga perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah diberikan kepada orang yang fakir dan orang kaya, dan diniatkan untuk meraih rasa cinta dan membalas budi atas hadiah yang diberikan (sebelumnya -pent). Dan terkadang pemberian hadiah itu juga bertujuan untuk mencari wajah Allah. Adapun hibah dan athiyah, tidak ada di antara keduanya perbedaan dan terkadang dimaksudkan untuk memuliakan orang yang diberikan hibah atau athiyah saja dikarenakan suatu keistimewaan atau sebab tertentu dari sebab-sebab yang ada.
Hukum Hadiah
Diperbolehkan dengan kesepakatan (ulama -pent) umat ini. Apabila tidak terdapat di sana larangan syar’i. Terkadang disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Terkadang disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab ‘Membalas Budi dan Kebaikan Orang Lain dengan Hal yang Semisalnya’. Dan terkadang pula, bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok-menyogok dan yang sehukum dengannya. Dan akan datang sebentar lagi pembahasan tentang macam-macam hadiah dan hukum masing-masing darinya.
Hukum Menerima Hadiah
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya atau disunnahkan saja? Dan pendapat yang kuat bahwasanya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’i yang mengharuskan menolaknya, maka wajib menerimanya, dikarenakan dalil-dalil berikut ini:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (Telah lewat takhrijnya yaitu di dalam Shahihul Jami’ [158])
2. Di dalam Ash Shahihain (Al Bukhari dan Muslim -pent.) dari Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, ‘Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku’, maka beliau menjawab, ‘Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah. Dan bila engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya’.”
Salim bin Abdillah berkata, “Oleh karena itu, Abdullah (bin Umar -pent.) tidak pernah meminta kepada orang lain sedikitpun, dan tidak pula menolak bingkisan yang diberikan kepadanya sedikitpun.” (Shahih At Targhib No. 835)
Dan di dalam sebuah riwayat, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun, dan tidaklah aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya….” (Shahih At Targhib [836])
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan sebab yang syar’i sebagaimana akan dijelaskan sebentar lagi. Oleh karena adanya dalil-dalil ini, maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i.
4. Demikian pula di antara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Barangsiapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah dia menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At Targhib [839])
Dan di dalam riwayat lain dari Khalid Al Jahnany radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Barangsiapa yang sampai kepadanya sebuah kebaikan dari saudaranya dengan tanpa meminta dan tamak, hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena sesungguhnya itu merupakan rezeki yang Allah Azza wa Jalla kirimkan kepadanya’.” (HR. Ahmad, Ath Thabrani, Ibnu Hibban, Al Hakim, Shahih At Targhib wat Tarhib [838])
Maka menjadi kuatlah (pendapat yang mengatakan -pent.) wajibnya menerima hadiah apabila tidak ada di sana larangan syar’i.
Hukum Menolak Hadiah
Setelah jelas bagi kita wajibnya menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan udzur syar’i. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk menolak hadiah dengan sabda beliau,
“Jangan kalian menolak hadiah.” (Telah lewat takhrijnya)
Dan terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak hadiah dikarenakan satu sebab dari sebab-sebab yang ada. Di antaranya:
1. Di dalam Ash Shahihain dari hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menolaknya. Maka tatkala beliau melihat ada sesuatu di raut wajah Ash Sha’bu, beliau berkata,
“Ketahuilah, sesungguhnya kami tidak menolaknya, hanya saja kami dalam keadaan sedang berihram.” (HR. Al Bukhari [2573], Muslim [1193])
Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya tidak boleh menerima hadiah dan tidak halalnya hadiah (ketika ihram, -pent.).”
2. Dalam Ash Shahihain dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ummu Hafid, bibinya Ibnu Abbas pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tepung aqith, minyak samin dan daging dhab (sejenis biawak -ed.). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam makan tepung aqith dan minyak samin, namun meninggalkan daging dhab dikarenakan merasa jijik.” (HR. Al Bukhari [2575], dan Muslim hal. 1544)
Dan dalam hadits ini ada beberapa faidah:
• Bolehnya menerima hadiah dari para wanita apabila aman dari fitnah.
• Bolehnya menolak hadiah dikarenakan suatu sebab.
• Seseorang yang memberi hadiah tidak boleh merasa sedih apabila hadiahnya ditolak, dan hendaknya dia memberi udzur bagi orang yang menolaknya. Atau tidak boleh merasa berduka, selama alasannya jelas.
3. Dan di dalam Abu Dawud, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Demi Allah, saya tidak akan menerima hadiah dari seorang pun setelah hari ini kecuali dia seorang Muhajir Quraisy, atau seorang Anshar, atau seorang dari suku Daus atau seorang dari suku Tsaqif.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Shahih Adabul Mufrad [464], Ash Shahihah [1684])
Dan pernah ada seorang arab gunung memberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor unta lalu beliau menggantinya, maka sang badui ini memarahi beliau, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menambahnya dan bersabda,
“Apakah kamu telah ridha?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Lalu ditambah lagi oleh beliau hingga beliau menggantinya dengan enam ekor unta.” (Silakan merujuk riwayat-riwayat ini dalam Jami’ul Ushul [11/611])
t untuk mengambil lebih banyak darinya, dan jikalau dia tidak mengambil lebih banyak dari hadiah yang dia berikan, dan ini membuat si pemberi marah, maka boleh menahan diri dari menerima hadiahnya.”
Dan di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bolehnya menolak hadiah apabila dia khawatir muncul fitnah dari hadiah tersebut, atau terdapat penghinaan terhadap orang yang mengambil hadiah tersebut. Dan demikian pula Sulaiman ‘alahissalam menolak hadiah Ratu Balqis dikarenakan ia merupakan suap-menyuap di dalam perkara agama agar Sulaiman ‘alaihissalam diam darinya dan membiarkan dia beribadah kepada matahari. Apabila hadiah tersebut berupa suap-menyuap untuk membatalkan kebenaran dan melegalkan kebatilan, maka tidak boleh diterima ketika itu.
Dan demikian pula apabila hadiah tersebut diperuntukkan bagi para pemimpin, para menteri, dan para pejabat, agar mereka memberimu sesuatu yang bukan menjadi hakmu, atau mereka memaafkan kamu dari sesuatu yang tidak pantas untuk mereka maafkan, maka ketika itu haram bagimu memberikan hadiah dan haram bagi mereka menerima hadiah tersebut dikarenakan itu merupakan suap-menyuap, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap di dalam hukum.” (Shahihul Jami’ [5093])
Dan demikian pula apabila hadiah tersebut berupa barang curian atau barang haram. Maka tidak boleh diterima karena yang demikian itu termasuk makan barang haram dan termasuk tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.
Dan telah lewat di antara kita hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah bahwasanya dia memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, sedangkan beliau dalam keadaan ihram, maka beliau menolaknya dikarenakan tidak boleh seorang yang ihram untuk berburu ketika dia beribadah.
Begitu juga apabila yang memberi hadiah tersebut menganggap hadiahnya sebagai hutang bagimu dan kamu tidak menginginkan untuk menanggung hutang tersebut, baik secara syar’i maupun secara kebiasaan, maka boleh bagimu untuk menahan diri dari mengambilnya disertai dengan meminta udzur. Dan demikian pula bila sang pemberi hadiah tersebut adalah seorang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya dan menceritakannya, maka tidak boleh diterima hadiah itu darinya.
Kesimpulannya, hukum asal adalah wajib menerima hadiah dan tidak boleh menolaknya kecuali apabila didapati larangan syar’i atau udzur maka boleh menolaknya.
Macam-macam Hadiah yang Tidak Boleh Ditolak
Telah lewat bersama kita dalil-dalil secara umum yang menunjukkan tidak bolehnya menolak hadiah. Akan tetapi telah datang dalil-dalil khusus yang menunjukkan tidak bolehnya menolak sebagian hadiah disebabkan zat hadiah tersebut. Di antaranya:
1. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tiga perkara yang tidak boleh ditolak: bantal-bantal, minyak wangi, dan susu.” (HR. At Tirmidzi dari Umar, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [3046] dan Ash Shahihah [619] dan Shahih At Tirmidzi [2241])
Ath Thibi rahimahullah berkata, “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan bahwasanya tamu itu dimuliakan dengan memberikan bantal, minyak wangi, dan susu. Dan itu merupakan hadiah yang sedikit jumlahnya, maka tidak sepantasnyalah ditolak.” (Tuhfatul Ahwadzi [8/61], hadits no. 2942)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa ditawari raihan, maka jangan menolaknya, sebab raihan itu mudah dibawa lagi harum baunya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Musnad Abu Ya’la, Shahihul Jami’ [6268])
Ibnu Atsir berkata di dalam An Nihayah, “Ar Raihan adalah setiap tumbuhan yang harum baunya yang termasuk dari jenis wewangian.”
2. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak minyak wangi.”
Membalas Pemberian Hadiah (yaitu membalas kebaikan orang yang memberi hadiah dengan hadiah semisalnya)
Disunnahkan membalas pemberian hadiah dengan yang semisalnya atau dengan sesuatu yang lebih afdhal dari hadiah tersebut, maka apabila dia tidak mampu untuk membalasnya, hendaknya dia menyanjung sang pemberi hadiah dan mendoakan kebaikan untuknya dengan ucapan, “Jazaakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan),” atau yang selainnya dari doa-doa yang ada.
1. Di dalam Shahih Al Bukhari (2585), dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”
2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang meminta perlindungan kepada kalian dengan nama Allah, maka lindungilah dia. Dan barangsiapa yang meminta kepada kalian dengan nama Allah, maka berilah dia. Dan barangsiapa mengundang kalian, maka penuhilah undangan tersebut. Barangsiapa berbuat kebajikan pada kalian. Maka balaslah dengan semisalnya. Lalu jika kalian tidak mendapati sesuatu yang semisalnya yang bisa kalian berikan, maka doakanlah dia dengan kebaikan hingga kalian memandang bahwasanya kalian sungguh telah membalasnya dengan semisalnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [6021])
3. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa diberikan sesuatu lalu dia mendapati (suatu untuk membalasnya -pent.), hendaknya dia membalas dengannya. Dan barangsiapa yang tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya -pent.) hendaknya ia menyanjungnya. Apabila dia telah menyanjungnya, sungguh ia telah berterima kasih kepadanya.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Shahih Al Bukhari, Al Adabul Mufrad lil Bukhari, Shahihul Jami’ [6065], dan Ash Shahihah [617])
4. Dikeluarkan oleh Al Imam Ath Thabrani dari Al Hakam bin Umair, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa memberikan sesuatu kepada kalian berupa kebajikan, maka balaslah dengan semisalnya. Kalau kalian tidak mendapati (apapun untuk membalasnya -pent.) maka doakanlah kebaikan untuknya.” (Shahihul Jami’ [5937], Shahihut Targhib)
5. Dan dari Usamah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang diberikan sesuatu kebaikan, lalu dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Maka sungguh dia benar-benar telah berterimakasih kepadanya.” (HR. At Tirmidzi dan yang selainnya, Shahihut Targhib wat Tarhib [955])
Dari hadits-hadits ini nampak jelas bagi kita bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam membalas pemberian hadiah dengan semisalnya dan bahwasanya sudah sepantasnya berterimakasih kepada si pemberi hadiah, memujinya dan mendoakan kebaikan untuknya, dikarenakan tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterimakasih kepada manusia.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi hadiah berupa seekor kambing, beliau bersabda, “Bagi-bagikan ia.” Apabila si pembantu telah kembali maka ‘Aisyah bertanya kepadanya, “Apa yang mereka katakan?” Si pembantu menjawab, “Mereka mengucapkan ‘Barakallahu fiikum (semoga Allah memberkahi kalian)’.” Lalu ‘Aisyah mengucapkan, “Wa fii him barakallah (dan semoga Allah memberkahi mereka), kita membalas mereka dengan semisal apa yang mereka ucapkan, dan semoga pahala kita tetap bagi kita.” (Shahih Al Kalimut Thayyib [185])
Hukum Meminta Kembali Hadiah (yang telah diberikan -pent.), Tidak Boleh kecuali Orang Tua kepada Anaknya
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Orang yang meminta kembali hibahnya itu seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2589], Muslim [3622])
Al Imam Al Bukhari memberikan keterangan di dalam Shahihnya, “Bab Tidak Halal bagi Seseorang untuk Meminta Kembali Hibah dan Shadaqahnya.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Fathul Bari (5/235), “Jumhur ulama berpendapat haram meminta kembali suatu hibah (pemberian) setelah diserahterimakan, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.”
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak ada menurut kami permisalan yang lebih jelek daripada seorang yang meminta kembali hibahnya diserupakan seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2622])
Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya ialah tidak pantas bagi kita -wahai segenap kaum mukminin- bersifat dengan sifat yang tercela yang kita diserupakan di dalamnya dengan hewan yang paling hina pada keadaan yang paling hina… Barangkali ini lebih mengena di dalam pelarangan terhadap hal yang demikian itu dan lebih menunjukkan pengharaman daripada seandainya beliau mengatakan semisal,
“Janganlah kalian meminta kembali hibah yang telah diberikan.” (Shahih, 5/235)
Imam An Nawawi berkata, “Hadits ini jelas-jelas mengharamkan meminta kembali hibah (shadaqah) setelah diserahterimakan. Ini dibawa kepada hibah yang diperuntukkan kepada orang lain. Adapun apabila dia memberikan hibah tersebut kepada anaknya dan anak cucunya, maka boleh bagi dia meminta kembali hibah tersebut. Sebagaimana ditegaskan di dalam hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu. Dan tidak boleh meminta kembali hibah yang telah diberikan kepada saudara, paman, dan selain mereka dari kalangan dzawil arham (orang-orang yang memiliki hubungan persaudaraan dengannya). Ini merupakan madzhab Imam Asy Syafi’i, pendapat ini diucapkan pula oleh Imam Malik dan Al Auza’i.” (Syarah Muslim, 11/71)
Saya katakan bahwa sungguh telah shahih hadits-hadits yang secara tegas mengharamkan meminta kembali hadiah yang telah diberikan, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Dan di antaranya:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak halal bagi seseorang memberikan sebuah hibah lalu memintanya kembali kecuali orang tua yang memberi hadiah kepada anaknya. Dan perumpamaan seseorang yang memberikan suatu pemberian kemudian memintanya kemb
ali seperti anjing memakan makanan, maka apabila telah kenyang, ia muntahkan kemudian ia jilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari, Al Arba’ah [Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i, Ibnu Majah], Shahihul Jami’ [7655])
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak boleh bagi seseorang meminta kembali hibahnya kecuali orang tua kepada anaknya. Dan seorang yang meminta kembali hibahnya seperti seorang yang memakan kembali muntahnya.” (Shahih Muslim, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [7686])
Kemudian di sana ada beberapa keadaan diperbolehkan hadiah itu ditolak dan dimintakan kembali:
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Ath Thabari berkata, “Dikhususkan dari keumuman hadits ini beberapa hal:
a. Seorang yang memberikan hibah dengan syarat meminta imbalan kembali.
b. Orang yang memberi tersebut adalah orang tua, sedangkan yang diberi itu adalah anaknya.
c. Hibah yang belum diserahterimakan.
d. Pemberian yang dikembalikan oleh ahli waris kepada orang yang menghibahinya, dikarenakan telah tetapnya hadits-hadits yang mengecualikan semua itu.”
Hukum Mengungkit-ungkit Hadiah (yang telah diberikan)
Allah Ta’ala berfirman,
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al Baqarah: 263-264)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan Allah tidak mau melihat mereka dan juga tidak mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang pedih.” Abu Dzar berkata, “Betapa celaka dan ruginya mereka. Siapakah mereka ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Seorang yang musbil (orang yang memanjangkan celana/sarungnya melebihi mata kakinya), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, 106)
Dan di dalam riwayat Muslim yang lain,
“Seorang yang suka mengungkit-ungkit pemberian yang tidaklah dia memberikan sesuatu melainkan dia mengungkit-ungkitnya.”
Maka jelaslah bagi kita mengungkit-ungkit di dalam pemberian hadiah, termasuk dari dosa-dosa besar.
Hukum Hadiah yang Tidak Dikenal, yaitu yang Pemiliknya Tidak Diketahui
Hukumnya diperbolehkan kecuali ada dugaan kuat bahwa pemiliknya atau yang orang yang memaksudkan hadiah tersebut keliru untuk siapa hadiah tersebut diberikan.
Hukum Bila Orang yang Diberikan Hadiah Tersebut Meninggal Sebelum Sampainya Hadiah
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadiah tersebut tidak berpindah kepada orang yang diberi, kecuali dia atau wakilnya telah menerima hadiah tersebut. ‘Abidah As Salmani berkata, “Apabila hadiah tersebut telah dibagi-bagikan maka untuk ahli warisnya. Dan apabila belum dibagi-bagikan, maka dikembalikan kepada orang yang memberikan hadiah tersebut.”
Dan yang benar adalah pendapat jumhur bahwasanya apabila ia, wakilnya, atau utusannya telah menerima hadiah itu, maka ia diperuntukkan bagi ahli waris si penerima. Dan demikian pula apabila si pemberi telah menjanjikan hadiah tersebut kepada si penerima sebelum si penerima wafat. (Silakan rujuk Fathul Bari, 5/221-222)
Hadiah untuk Kerabat yang Terdekat Itu Lebih Utama (kedekatan dari sisi nasab dan bertetangga)
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan bahwa Maimunah radhiyallahu ‘anha pernah suatu kali memerdekan seorang budak wanita, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,
“Ketahuilah sesungguhnya kamu jika memberikannya kepada paman-pamanmu (dari pihak ibu) niscaya kamu akan mendapatkan pahala yamg lebih besar.” (HR. Al Bukhari [2592], dan Muslim [999])
Dan di dalam Shahih Al Bukhari (2595) diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga, maka siapakah di antara keduanya yang lebih layak aku berikan hadiah?”
Beliau menjawab,
“Kepada yang lebih dekat pintunya darimu.”
Maka bisa diambil faedah dari dua hadits ini bahwa kerabat itu lebih didahulukan di dalam pemberian hadiah daripada orang asing. Dan apabila para kerabat itu setara dalam tingkat kekerabatannya, maka didahulukan yang paling dekat pintunya. Dan ini semua apabila mereka sama-sama membutuhkan. Wallahu a’lam. 

Kesimpulan : Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari beberapa hadits dalam pembahasan artikel di atas, sudah jelas bahwa memberikan sesuatu baik itu hadiah atau pemberian biasa berkaitan barang atau bentuk uang, ini bisa dikatakan hal yang mubah (boleh) dan bisa termasuk yang dihalalkan (Halalan thoyibbah). Akan tetapi perlu diingat bahwa pemberian itu sendiri harus mendasar terhadap sikap, sifat dan kode etik, seperti hal-hal yang harus diperhatikan antara lain :
1. Apakah si pemberi itu ikhlas atau ridho atas pemberiannya ?
2. Apakah si Penerima mau menerima atas pemberiannya ?
3. Apakah pemberian ini tidak menimbulkan sifat "Riya" untuk dirinya?, dalam arti pemberian itu ingin dipuji orang lain atau semata-mata ingin menjadikan nilai surplus atau tujuan-tujuan tertentu terhadap pemberiannya itu.
4. Apakah pemberian ini hanya pada keterpaksaan saja?, Ketika ada orang yang meminta baru bisa memberi. Kalau terpaksa memberi, lebih baik jangan.  
5. Apakah memberikan sesuatu tidak menimbulkan suatu kebencian antara pemberi dan penerima?. Semisal dalam satu keluarga seorang ibu atau ayah memberikan hadiah kepada anak-anaknya, ternyata diantara anaknya ada yang tidak terbagi hadiah tadi atau secara sengaja memang tidak dijatah dalam pemberian itu, sehingga hal ini akan menimbulkan suatu kebencian atau  menimbulkan rasa iri hati terhadap saudara-saudaranya, yang tentunya akan menjadi beban pikiran anak-anak yang tidak diberi tadi, maka kemudian akan timbulah rasa benci terhadap saudara-saudaranya, bahkan ia akan merasa sakit hati  terhadap ayah atau ibunya itu. Jika hal itu terjadi maka pemberian itu tidak menjadi suatu pahala bagi si pemberi, malah hal ini akan bisa menambah dosa. 
Dengan demikian bahwa dalam memberikan sesuatu itu harus bersikap adil dan harus lebih dahulu melihat situasi dan kondisinya sesuai tujuan pemberian tersebut.
Sumber: 
http://fadhlihsan.wordpress.com/
Menebar Cinta dengan Hadiah karya Ibrahim bin Abdillah Al Mazru’i (penerjemah: Ibnu Musa Al Bankawy), penerbit: Al Husna, Jogyakarta. Hal. 9-12, 14-15, dan 19-51.



Posted by
Calung Blogger

More

Pengertian Bid'ah

1.   Bid‘ah Secara Etimologi (Bahasa)

Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu bad‘an wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u, artinya sesuatu yangmenjadi awal permulaan.

Dalam al-Qur-an disebutkan:

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.’” (QS. Al-Ahqaaf: 9)

Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam) bukanlah Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku yang telah diutus pula.

Terdapat ungkapan: ‘Fulaanun bid‘in fii hadzal ‘amri,’ yang artinya Fulan yang pertama kali melakukan perkara  ini, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya. Maka dari itu, kata abda‘a, ibtada‘a, maupun tabadda‘a bermakna melakukan perbuatan bid‘ah.

Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala :

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا

 ‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah.’ (QS. Al-Hadiid: 27)

Ru’bah berkata dalam sya‘irnya:

               andaikata engkau benar bertakwa dan taat kepada Allah
       maka tidaklah benar engkau ada-adakan perbuatan bid‘ah

Lafazh badda‘ahu berarti menjatuhkan vonis bid‘ah atas seseorang. Adapun Abda’ta syai-a, kalimat ini berarti kamu membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.

Al-Badii’ adalah salah satu asma (nama) Allah, yang bermakna Yang menciptakan dan mengadakan sesuatu dari ketiadaannya. Dialah pencipta pertama sebelum segala sesuatu ada. Boleh juga dimaknai dengan mubdi’ (yang mengadakan); atau, makna asal dari kata bad‘al khalqa artinya yang memulai penciptaan makhluk.

Allah Ta'ala adalah Al-Badii’ (Yang Maha Mencipta), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

 ‘Allah pencipta langit dan bumi.’ (QS. Al-Baqarah: 117)

Yakni, yang menciptakan dan yang mengadakan keduanya dari ketiadaan. Dengan demikian, Allah adalah Yang Maha Mencipta lagi Maha Mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.

Kata siqaa‘u badii‘un, artinya tempat air yang baru. Kalimat Abda‘atil ibilu berarti unta itu berlutut di tengah jalan karena lemah, sakit, atau letih. Abda‘at hiya, artinya dia (perempuan) letih dan lemah. Menurut satu pendapat, arti lafazh al-ibdaa’ adalah kelemahan yang disebabkan oleh kepincangan atau cacat.

Terdapat pernyataan: ‘Ubdi‘a ubdi‘a bihi wa abda‘a,’ yang artinya hewan tunggangan seseorang keletihan atau mogok (tidak dapat berjalan lagi), sehingga menyebabkan orang itu tidak bisa melanjutkan perjalanan karena punggung tunggangannya lelah atau tiba-tiba mendekam, yakni berhenti.

Dalam sebuah  hadits disebutkan:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي أُبْدِعَ بِيْ فَاحْمِلْنِي

 “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hewan tungganganku mogok, maka tolong angkut aku.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya (III/1506, Kitab “al-Imaarah”, no. 1893)]

Maksudnya, perjalanan orang itu terputus karena hewan tunggangannya keletihan. Seolah-olah, ia menganggap mogoknya hewan tunggangan yang seharusnya terus berjalan itu sebagai sesuatu yang baru. Dengan kata lain, terjadinya sesuatu di luar dugaan atau ia mengalami sesuatu di luar kebiasaan.” [Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur (VIII/6-8)].

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata bada‘a adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, secara umum. Ibdaa‘ul ibil, yang berarti keletihan dan kelesuan unta, juga merupakan sesuatu yang baru mengingat kebiasaan unta adalah terus-menerus berjalan. Dengan demikian, kata bid‘ah adalah kata benda turunan dari kata al-ibtida’, seperti halnya kata rif‘ah yang merupakan kata benda turunan dari kata al-irtifa’, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya. [Lihat al-Bid‘ah karya Dr. Izzat Athiyyah (hlm. 157)].

2.   Bid‘ah Secara Terminologi (Syar'i)

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.

Pendapat pertama:
Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang tercela.

Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam kitab an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim. [Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155)

Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” [Lihat Hilyatul Auliyaa’ karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)]

Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi bid‘ah: “Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” [Lihat Qawaa-idul Ahkaam (II/172)]. 

Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang diriwayat­kan dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang shalat  Tarawih : “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/250], Kitab “ash-Shalaatut Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (I/114), dengan redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”]

Pendapat kedua:
Kata bid‘ah hanya digunakan untuk menyebut amalan-amalan yang bertentangan dengan sunnah Nabi.

Inilah pendapat asy-Syathibi [Lihat al-I’tisham (I/37)], Ibnu Hajar al-Asqalani [Lihat Fat-hul Baari (XIII/253)], Ibnu Hajar al-Haitami [Lihat al-Fataawa al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)], Ibnu Rajab al-Hanbali [Lihat Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Lihat catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul Kaaminah (I/144-160), Dzail Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul Wafayaat (I/74-80), dan al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az-Zarkasyi [Lihat al-Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah sunnah dan bid‘ah telah kami tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah  yang tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang tidak diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan atau dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut termasuk ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah itu pernah dilaksanakan pada zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam maupun belum. Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi kaum yang murtad dan kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi, mengeluarkan bangsa Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang semisalnya, maka semua itu termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.” [Lihat Majmuu’ Fataawa (IV/107-108)].

Al-Imam asy-Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai berikut: “Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala.”

Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak menggolongkan perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang meng­khususkan bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah.

Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat ke dalam bid‘ah, mereka berkata:
“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.”  [Lihat al-I’tishaam (I/37)]

3.   Beberapa Dalil Pendapat Kedua

a.     Dalil dari as-Sunnah
1.     Hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah  ia berkata: “Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak, hingga seolah-olah beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan perang. Beliau bersabda: ‘Siap siagalah kalian setiap saat!’ Setelah itu, beliau bersabda: ‘(Antara) aku diutus dan (terjadinya) Kiamat adalah seperti kedua (tangan) ini,” seraya memberi isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.’ Beliau meneruskan:أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ‘Amma ba’du, sesungguhnya perkataan yang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad, dan perkara yang terburuk adalah perkara baru (bid‘ah), dan setiap bid‘ah adalah sesat.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi VI/153-154, Kitab “al-Jumu‘ah”), an-Nasa-i dalam Sunan-nya (III/189, Kitab “ash-Shalaatul ‘Iedain”) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/17, muqaddimah)].
2.     Hadits riwayat al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata: “Pada suatu hari, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam shalat mengimami kami. Setelah selesai, beliau menghadap ke arah kami dan menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, hingga membuat air mata kami berlinang dan hati tergetar. Seorang hadirin berkata: ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan. Jika demikian, apa yang akan engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau menjawab:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
‘Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah, selalu patuh dan taat (kepada yang memimpin kalian), meskipun ia seorang budak dari habasyah (berkulit hitam). Sebab, siapa saja dari kalian yang masih hidup sepeninggalku pasti akan melihat perselisihan yang begitu banyak. Maka dari itu, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian (maksudnya, peganglah sunnah itu erat-erat), dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.’”[ HR. Ahmad dalam Musnad-nya (IV/126-127) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (‘Aunul Ma’buud XII/358-360, Kitab “al-Fitan”). Redaksi hadits tersebut adalah milik Abu Dawud. Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Tuhfatul Ahwadzi [VII/438-442]), dan Tirmidzi berkata: “Derajat hadits ini hasan shahih.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/15-16, muqaddimah)].

b.    Dalil dari atsar
1.     Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan bid‘ah dan matilah sunnah.” [Al-Haitsami berkata dalam kitabnya, Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya).” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/188), Bab “al-Bida’ wal Ahwaa’”. Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ibnu Wadhah dalam al-Bida’ (hlm. 39)].
2.     Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.”
Hadits dan atsar di atas menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang muncul di dalam syara’ (syari‘at Islam) itu tercela. [Al-Haitsami berkata dalam kitab Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahiih.” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/181), Bab “al-Iqtidaa’ bis Salaf”].

Pendapat yang kuat:
Kata bid‘ah itu hanya digunakan untuk menyebut perkara yang menyalahi sunnah Nabi. Dengan demikian, tidak ada bid‘ah yang terpuji atau baik. Wallaahu a’lam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah bahwa kaidah ini, yaitu kaidah menetapkan hukum bid‘ah atas sesuatu yang makruh, merupakan kaidah umum yang sangat agung. Kaidah ini merupakan jawaban sempurna atas pendapat yang bertentangan dengannya. Hal itu disebabkan ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bid‘ah itu terbagi dua: bid‘ah hasanah (baik) dan bid‘ah qabiihah (buruk). Mereka beralasan dengan ucapan ‘Umar: ‘Bid‘ah yang terbaik adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).’”

Namun, orang-orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini (yakni bahwasanya semua bid‘ah adalah buruk) mengemukakan sanggahan: “Tidak semua bid‘ah itu sesat.”

Bantahan atas sanggahan tersebut adalah: “Sabda Rasulullah: ‘Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, dan seluruh bid‘ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat, dan setiap kesesatan itu akan menjerumuskan ke Neraka,’ juga peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan, semua seruan itu merupakan penegasan Rasulullah. Jika demikian, tidak seorang pun boleh menolak apa yang ditunjukkan nash ini, yaitu celaan terhadap bid‘ah. Siapa saja yang membantahnya berarti ia termasuk salah seorang penentang as-Sunnah.”

Tidak seorang pun boleh menentang nash yang umum dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam itu, yaitu sabdanya: ‘Setiap bid‘ah itu sesat,’ dengan me­mentah­kan pengertian umum nash tersebut, yaitu dengan mengatakan bahwa tidak setiap bid‘ah itu sesat. Sebab, perbuatan ini lebih tepat disebut penentangan terhadap Rasul daripada disebut takwil. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/582-588)].

Adapun shalat Tarawih, shalat ini bukanlah bid‘ah dalam syari’at (Islam), tetapi termasuk sunnah Nabi. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan pelaksanaan beliau atas shalat ini secara berjamaah. Mengerjakan shalat Tarawih secara berjamaah bukanlah bid‘ah, melainkan sunnah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat ini secara berjamaah pada tiga malam awal bulan Ramadhan. Namun pada malam keempat, beliau bersabda:
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا
“Sesungguhnya keadaan kalian (yang melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah) tidaklah samar bagiku. Hanya saja, aku khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu mengerjakannya.” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/251], Kitab “ash-Shalaatut Taraawih”, no. 2012) dan Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim [I/524], Kitab “ash-Shalaatul Musaafiriin”, no. 761 dan 178)].

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan mengapa beliau tidak keluar (pada malam keempat itu), yaitu karena khawatir shalat Tarawih akan diwajibkan kepada umat Islam. Dengan demikian, diketahuilah alasan di balik tindakan beliau yang tidak keluar rumah untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah. Seandainya tidak ada kekhawatiran tersebut, niscaya beliau akan keluar untuk menunaikannya bersama mereka.

Pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab, ia me­ngumpulkan kaum Muslimin (di masjid untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah) dengan diimami seorang imam. Ia pun menerangi masjid untuk mereka. Sehingga, keadaan ini—yakni berkumpulnya mereka di masjid dengan dipimpin seorang imam dan dengan menerangi masjid—merupakan perbuatan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena itulah, perbuatan tersebut dinamakan bid‘ah. Sebab dalam bahasa Arab, perbuatan itu (yakni amalan yang belum pernah dilakukan sebelumnya) memang dinamai demikian (bid‘ah). Namun, yang dimaksud darinya bukanlah bid‘ah dalam syari‘at. Pasalnya, sunnah Nabi menghendaki perbuatan itu termasuk bagian amal shalih, seandainya tidak ada kekhawatiran akan diwajibkannya shalat Tarawih kepada umat Islam.
Sekarang, kekhawatiran itu telah hilang karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah wafat, sehingga tidak akan ada wahyu yang turun untuk mewajibkannya. Karena kekhawatiran akan kewajiban amal tersebut sudah hilang, maka hilang pula hambatan untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah. [Ketika itu, yang menjadi imam adalah Sahabat yang mulia Ubayy bin Ka’ab. Lihat al-Muwaththa’ (I/114)].

Mengenai perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksud­nya, shalat Tarawih berjamaah),” maka perlu diketahui sikap mayoritas orang yang berargumentasi dengan ucapan Sahabat seperti ini. Jika kita akan menetapkan suatu hukum syari‘at dengan perkataan ‘Umar —yang notabene merupakan perkataan Sahabat—yang tidak dipertentangkan, niscaya orang-orang itu akan berkata: “Perkataan Sahabat bukanlah hujjah (nash yang dapat dijadikan dalil)!” Jika demikian adanya, bagaimana mungkin mereka menjadikan ucapan Sahabat yang bertentangan dengan sabda Rasul di atas sebagai hujjah? Padahal, orang-orang yang meyakini bahwa perkataan Sahabat merupakan hujjah tidak meyakininya sebagai hujjah apabila bertentangan dengan hadits Nabi!

Dengan kata lain, penggunaan istilah bid‘ah untuk shalat Tarawih yang diucapkan oleh ‘Umar adalah dalam lingkup pengertiannya secara bahasa (etimologi), bukan dalam bingkai pengertian syar‘i (terminologi). Sebab, menurut pengertian bahasa, bid‘ah itu mencakup seluruh perbuatan yang dibuat pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.

Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala perbuatan yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab (dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, seperti pengamalan terhadap ketentuan nishab zakat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang ‘Umar lakukan terhadap kaum Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat lainnya di jazirah Arab. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592)].



Sumber :pustakaimamsyafei.com

Posted by
Calung Blogger

More
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / URANG CALUNG

Template by : Urang-kurai / powered by Posted Calung Blogger