Posted by
Calung Blogger
MUSYRIK ADALAH MENDUAKAN ALLOH ATAU MENYEKUTUKAN ALLOH SWT
YAITU DIA BERIBADAH KEPADA ALLOH TETAPI MASIH BERSANDAR TERHADAP SESUATU YANG DIANGGAP DAPAT MEMBERIKAN BANTUAN. DAN INI DIANGGAP PERBUATAN MUSYRIK KEPADA ALLOH SWT.
PERBUATAN MUSYRIK INI BANYAK JENISNYA SEPERTI : TABARUK, TAMIMAH, RIYA, GHULUW, TATHAYYUR, BERSUMPAH DENGAN SELAIN NAMA ALLOH DAN BANYAK LAGI".
"TABARUK" YAITU MENGGANTUNGKAN NASIB KEPADA SESUATU SELAIN ALLOH SEPERTI MEMINTA KEBERKAHAN KEPADA BATU, GUNUNG, TEMPAT YANG DIKERAMATKAN (KUBURAN), BINATANG, POHON, MANUSIA DAN LAIN SEBAGAINYA. TABARUK ITU BERMACAM-MACAM ANTARA LAIN :
PERBUATAN MUSYRIK INI BANYAK JENISNYA SEPERTI : TABARUK, TAMIMAH, RIYA, GHULUW, TATHAYYUR, BERSUMPAH DENGAN SELAIN NAMA ALLOH DAN BANYAK LAGI".
"TABARUK" YAITU MENGGANTUNGKAN NASIB KEPADA SESUATU SELAIN ALLOH SEPERTI MEMINTA KEBERKAHAN KEPADA BATU, GUNUNG, TEMPAT YANG DIKERAMATKAN (KUBURAN), BINATANG, POHON, MANUSIA DAN LAIN SEBAGAINYA. TABARUK ITU BERMACAM-MACAM ANTARA LAIN :
- TABARUK KEPADA BATU, ARTINYA MENGANGGAP BATU CINCIN ATAUPUN LAINNYA MENDATANGKAN KEWIBAWAAN, ILMU PELET, MENDATANG RIZKI DSB.
- TABARUK KEPADA GUNUNG, MEMPERCAYAI BAHWA GUNUNG YANG DIANGGAP KERAMAT BISA MENDATANGKAN KEBERUNTUNGAN, SEHINGGA ORANG MENYEBUTNYA GUNUNG SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN.
- TABARUK TERHADAP TEMPAT, ARTINYA JIKA SESEORANG MENDATANGI TEMPAT APAKAH ITU KAMPUNG, MAKAM, DANAU DENGAN PERINTAH SECARA MISTIK DIANGGAP BISA MENDATANGKAN KEBERKAHAN.
- TABARUK TERHADAP MANUSIA, MANUSIA DIANGGAP BERTUAH DENGAN MANTRA-MANTRA ATAU DOA-DOANYA BISA MENDATANGKAN KEBERUNTUNGAN, SEPERTI DUKUN, AHLI NUJUM, AHLI SIHIR DAN LAIN-LAIN DARI MANUSIA YANG MENGANGGAP DIRINYA BERTUAH, SEPERTI KATA-KATA MEREKA " KALAU BUKAN SAYA KAMU TIDAK AKAN MENJADI KAYA", INILAH SALAH SATU SIFAT FIR'AUN YANG DIMILIKINYA.
TABARUK TERHADAP BINATANG DAN POHON JUGA SAMA-SAMA DIGANGGAP MEMILIKI KEAJAIBAN BISA MENDATANGKAN KEBERKAHAN. SEAKAN MEREKA LUPA BAHWA SEMUA MAHLUK HIDUP ADA PENCIPTA-NYA. JADI YANG MEMBERIKAN KEBERKAHAN ITU SIAPA, KALAU GUNUNGNYA MELETUS, POHONNYA TUMBANG ATAU TANAHNYA GEMPA, APAKAH ADA ANGGAPAN BAHWA APA YANG DISANDARINYA ITU MEMBAWA KEBERKAHAN, PASTI JAWABANNYA MASIH ADA, DI TEMPAT LAIN MASIH BANYAK. ATAU KETIKA PENYEMBAH PATUNG ATAU BERHALA KETIKA PATUNG ITU TUBUHNYA BERANTAKAN KARENA GEMPA, PASTI MENGATAKAN MASIH BANYAK PARA TUKANG PAHAT UNTUK MEMBUAT BERHALA YANG LEBIH BARU LAGI. BAGAIMANA TIDAK DISEMBAH-SEMBAH, DENGAN ADANYA PATUNG-PATUNG ITU MEREKA MERASA BANGGA DAN KAGUM, SEMENTARA MEREKA TIDAK TAHU SI PEMBUAT PATUNGNYA ITU SIAPA?". NAH INILAH MALAPETAKA YANG TIDAK MUNGKIN BISA DIHILANGKAN DALAM TRADISI JAHILIAHNYA, KARENA MEREKA PERCAYA INI ADALAH HASIL JERIH PAYAH NENEK MOYANG YANG TIDAK BISA DIHILANGKAN BEGITU SAJA.
DAN PERBUATAN TABARUK INILAH YANG DIMAKSUD PERBUATAN MUSYRIK, YAITU MENGANGGAP SELAIN ALLOH BISA MENYAMAI ATAU MELEBIHI KEKUASAAN ALLOH. YANG MEREKA KATAKAN " DENGAN MEMINTA KEPADA ALLOH TIDAK DIKABULKAN, TERNYATA MINTA KEPADA GUNUNG, POHON, BINATANG, TEMPAT-TEMPAT DAN MANUSIA ITU SENDIRI KO BISA..." BERARTI MENGANGGAP CIPTAAN ALLOH LEBIH BISA DAN LEBIH PANDAI.
PADAHAL DENGAN BERTABARUK SEPERTI ITU, NANTI DI HARI KIAMAT AKAN MENDATANGKAN AZAB TERHADAP PELAKUNYA, KARENA YANG DITABARUKNYA AKAN MENGHUJAT..."
MELALUI PENJELASAN KITAB TAUHID YANG DITULIS OLEH SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB PADA BAB 9, ALLOH SWT BERFIRMAN YANG ARTINYA :
BERITAHUKANLAH KEPADAKU (HAI ORANG-ORANG MUSYRIK) TENTANG AL LATA DAN AL 'UZZA DAN MANAT YANG KETIGA YANG PALING TERKEMUDIAN? APAKAH (PATUT) UNTUK KALIAN (ANAK) LAKI-LAKI DAN UNTUK ALLOH (ANAK) PEREMPUAN? YANG DEMIKIAN ITU TENTULAH SUATU PEMBAGIAN YANG TIDAK ADIL. ITU TIDAK LAIN HANYALAH NAMA-NAMA YANG KALIAN DAN BAPAK-BAPAK KALIAN MENYEBUTNYA; ALLOH TIDAK MENURUNKAN SUATU SULTHAN'-PUN (HUJJAH TENTANGNYA). TIDAKLAH YANG MEREKA IKUTI SELAIN SANGKAAN-SANGKAAN DAN APA YANG DIINGINI OLEH HAWA NAFSU MEREKA. DAN SESUNGGUHNYA TELAH DATANG HIDAYAH KEPADA MEREKA DARI RABB MEREKA (AN-NAJM : 19-23).
BERITAHUKANLAH KEPADAKU (HAI ORANG-ORANG MUSYRIK) TENTANG AL LATA DAN AL 'UZZA DAN MANAT YANG KETIGA YANG PALING TERKEMUDIAN? APAKAH (PATUT) UNTUK KALIAN (ANAK) LAKI-LAKI DAN UNTUK ALLOH (ANAK) PEREMPUAN? YANG DEMIKIAN ITU TENTULAH SUATU PEMBAGIAN YANG TIDAK ADIL. ITU TIDAK LAIN HANYALAH NAMA-NAMA YANG KALIAN DAN BAPAK-BAPAK KALIAN MENYEBUTNYA; ALLOH TIDAK MENURUNKAN SUATU SULTHAN'-PUN (HUJJAH TENTANGNYA). TIDAKLAH YANG MEREKA IKUTI SELAIN SANGKAAN-SANGKAAN DAN APA YANG DIINGINI OLEH HAWA NAFSU MEREKA. DAN SESUNGGUHNYA TELAH DATANG HIDAYAH KEPADA MEREKA DARI RABB MEREKA (AN-NAJM : 19-23).
FAEDAH DARI AYAT TERSEBUT :
1. BERTABARUK KEPADA PEPOHONAN, BEBATUAN DSB ADALAH SYIRIK
2. DISYARIATKANNYA MENDEBAT KAUM MUSYRIKIN UNTUK MEMATAHKAN KESYRIKAN DAN MENEGAKKAN TAUHID.
3. SEBUAH HUKUM TIDAKLAH DITETAPKAN KECUALI DENGAN DALIL DARI KITAB YANG DITURUNKAN ALLOH, TIDAK BOLEH SEKEDAR SANGKAAN DAN HAWA NAFSU.
4. ALLOH TELAH MENEGAKKAN HUJJAH MELALUI PARA RASUL YANG DIUTUS DAN KITAB-KITAB YANG DITURUNKANNYA.
KESYIRIKAN INI BUKAN HANYA PERBUATAN TABARUK JUGA PERBUATAN LAIN SEPERTI TAMIMAH MENJADIKAN JIMAT TERHADAP BENDA-BENDA YANG DIANGGAP BERTUAH SEPERTI : KERIS, BATU CINCIN, ISIM (KAIN YANG DITULISI LAPAZ HURUF ARAB ATAU BAHASA LAINNYA) DAN LAIN SEBAGAINYA.
FIRMAN ALLOH SWT DAN HADITS-HADITS LARANGAN UNTUK MEMAKAI TAMIMAH :
DALAM SURAT AZ-ZUMAR AYAT 38 ALLOH BERFIRMAN YANG ARTINYA:
KATAKANLAH ; MAKA KABARKANLAH KEPADAKU TENTANG APA YANG KAMU SERU (IBADAHI) SELAIN ALLOH, JIKA ALLOH HENDAK MENDATANGKAN KEMUDHARATAN (BAHAYA /MALAPETAKA) KEPADAKU, APAKAH BERHALA-BERHALAMU ITU DAPAT MENGHILANGKAN KEMUDHARATAN ITU, ATAU JIKA ALLOH HENDAK MEMBERI RAHMAT KEPADAKU, APAKAH MEREKA DAPAT MENAHAN RAHMATNYA? KATAKANLAH " CUKUPKANLAH ALLOH BAGIKU " KEPADA - NYALAH BERTAWAQAL ORANG-ORANG YANG BERSERAH DIRI (AZ-ZUMAR:38).
KEMUDIAN HADITS RIWAYAT AHMAD DARI SAHABAT UQBAH BIN AMIR SECARA MARFU: BARANG SIAPA YANG MENGGGANTUNGKAN TAMIMAH (JIMAT) MAKA SEMOGA ALLOH SWT TIDAK AKAN MENYEMPURNAKAN URUSANNYA. BARANG SIAPA YANG MENGGANTUNGKAN WAD'AH (BENDA LAUT SERUPA RUMAH KERANG UNTUK MENGHINDARI PENYAKIT 'AIN) MAKA SEMOGA ALLOH SWT TIDAK AKAN MENENANGKAN (MERINGANKAN) APA YANG DIA TAKUTKAN".
PADA RIWAYAT LAIN :
BARANG SIAPA YANG MENGGANTUNGKAN TAMIMAH MAKA DIA TELAH BERBUAT SYIRIK.
ORANG YANG BERTABARUK ATAU BERTAMIMAH INI HIDUPNYA ITU TIDAK AMAN DAN NYAMAN, KARENA TAKUT KEHILANGAN JIMAT ATAU SESUATU YANG DITABARUKINNYA. SEPERTI JIKA DIA MELAKSAKNAKAN PEKERJAAN KEMUDIAN TIDAK MENDATANGKAN KEBERUNTUNGAN KARENA KETINGGALAN JIMATNYA, MAKA MEREKA BERCELOTEH " WAH KARENA BATU CINCINKU KETINGGALAN, AKU NGGAK DAPAT DUIT HARI INI.." INI SAKING CINTA-CINTANYA BERTABARUK, HINGGA BENDA SAJA DIANGGAP TUHAN. PADAHAL ITU KAN BUATAN MANUSIA KEMUDIAN DIDALAMNYA ADA APA SIH, PALING ADA JIN ATAU SYETAN ATAU LEBIH SOPAN MEREKA KATAKAN KHODAM.
KEMUDIAN KALAU BATU CINCINNYA DIPALU HINGGA PECAH, KEMUDIAN SETELAH BATUNYA PECAH TAK BERGUNA, APAKAH MEREKA MENANGIS KARENA YANG MENJADI TAMIMAHNYA MATI ATAU KABUR DISEBABKAN RUMAHNYA RUSAK, TIDAK.., MEREKA TIDAK MENANGIS.
PASTI MEREKA AKAN LEBIH HEBAT LAGI MENCARI SESUATU DIANGGAP TUHAN SELAIN ALLOH SWT. SEBAGAI PENGGANTINYA, BARU SETELAH MEREKA DIBERIKAN AZAB ATAU MALAPETAKA DAN AZAL MENJEMPUT MEREKA SADAR, BAHWA SEGALA SESUATU YANG MEMBERIKAN KEBERKAHAN DAN KEBERUNTUNGAN BUKAN BENDA YANG DIANGGAP TUHAN, MEREKA BISA SAJA MENYEBUT YANG MEMBERIKAN KEKUASAAN ADALAH ALLOH SWT, ITU KALAU BERTOBAT. KALAU SAMA SEKALI TIDAK INGAT ALLOH, MAKA CELAKALAH--CELAKALAH...CELAKALAH.. MEREKA.
MATI DALAM KEADAAN MUSYRIK MAKA NERAKALAH TEMPATNYA, SEBAGAIMANA HADITS ROSULULLOH SAW :
DALAM SEBUAH RIWAYAT MUSLIM DARI JABIR RODIYALLOHUAN BAHWA ROSULULLOH SAW BERSABDA " BARANG SIAPA MENEMUI ALLOH SWT DALAM KEADAAN TIDAK MENYEKUTUKANNYA DENGAN SESUATUPUN, PASTI DIA MASUK SYURGA. DAN BARANG SIAPA YANG MENEMUI ALLOH SWT DALAM KEADAAN MENYEKUTUKAN-NYA DENGAN SESUATU PASTI DIA MASUK NERAKA."
HADITS LAIN :
DARI IBNU MAS'UD RODIYALLOHUAN BAHWA ROSULULLOH SAW BERSABDA : BARANG SIAPA YANG MENINGGAL DALAM KEADAAN DIA BERDOA (BERIBADAH) KEPADA TANDINGAN BAGI ALLOH SWT PASTI DIA MASUK NERAKA (HR. AL-BUKHARI)
SUMBER : KITAB TAUHID : SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB.
Catatan :
Kitab yang ditulis dari kitab ini seluruhnya bersumber :
- Al-quran
- Hadits Shahih
FIRMAN ALLOH SWT DAN HADITS-HADITS LARANGAN UNTUK MEMAKAI TAMIMAH :
DALAM SURAT AZ-ZUMAR AYAT 38 ALLOH BERFIRMAN YANG ARTINYA:
KATAKANLAH ; MAKA KABARKANLAH KEPADAKU TENTANG APA YANG KAMU SERU (IBADAHI) SELAIN ALLOH, JIKA ALLOH HENDAK MENDATANGKAN KEMUDHARATAN (BAHAYA /MALAPETAKA) KEPADAKU, APAKAH BERHALA-BERHALAMU ITU DAPAT MENGHILANGKAN KEMUDHARATAN ITU, ATAU JIKA ALLOH HENDAK MEMBERI RAHMAT KEPADAKU, APAKAH MEREKA DAPAT MENAHAN RAHMATNYA? KATAKANLAH " CUKUPKANLAH ALLOH BAGIKU " KEPADA - NYALAH BERTAWAQAL ORANG-ORANG YANG BERSERAH DIRI (AZ-ZUMAR:38).
KEMUDIAN HADITS RIWAYAT AHMAD DARI SAHABAT UQBAH BIN AMIR SECARA MARFU: BARANG SIAPA YANG MENGGGANTUNGKAN TAMIMAH (JIMAT) MAKA SEMOGA ALLOH SWT TIDAK AKAN MENYEMPURNAKAN URUSANNYA. BARANG SIAPA YANG MENGGANTUNGKAN WAD'AH (BENDA LAUT SERUPA RUMAH KERANG UNTUK MENGHINDARI PENYAKIT 'AIN) MAKA SEMOGA ALLOH SWT TIDAK AKAN MENENANGKAN (MERINGANKAN) APA YANG DIA TAKUTKAN".
PADA RIWAYAT LAIN :
BARANG SIAPA YANG MENGGANTUNGKAN TAMIMAH MAKA DIA TELAH BERBUAT SYIRIK.
ORANG YANG BERTABARUK ATAU BERTAMIMAH INI HIDUPNYA ITU TIDAK AMAN DAN NYAMAN, KARENA TAKUT KEHILANGAN JIMAT ATAU SESUATU YANG DITABARUKINNYA. SEPERTI JIKA DIA MELAKSAKNAKAN PEKERJAAN KEMUDIAN TIDAK MENDATANGKAN KEBERUNTUNGAN KARENA KETINGGALAN JIMATNYA, MAKA MEREKA BERCELOTEH " WAH KARENA BATU CINCINKU KETINGGALAN, AKU NGGAK DAPAT DUIT HARI INI.." INI SAKING CINTA-CINTANYA BERTABARUK, HINGGA BENDA SAJA DIANGGAP TUHAN. PADAHAL ITU KAN BUATAN MANUSIA KEMUDIAN DIDALAMNYA ADA APA SIH, PALING ADA JIN ATAU SYETAN ATAU LEBIH SOPAN MEREKA KATAKAN KHODAM.
KEMUDIAN KALAU BATU CINCINNYA DIPALU HINGGA PECAH, KEMUDIAN SETELAH BATUNYA PECAH TAK BERGUNA, APAKAH MEREKA MENANGIS KARENA YANG MENJADI TAMIMAHNYA MATI ATAU KABUR DISEBABKAN RUMAHNYA RUSAK, TIDAK.., MEREKA TIDAK MENANGIS.
PASTI MEREKA AKAN LEBIH HEBAT LAGI MENCARI SESUATU DIANGGAP TUHAN SELAIN ALLOH SWT. SEBAGAI PENGGANTINYA, BARU SETELAH MEREKA DIBERIKAN AZAB ATAU MALAPETAKA DAN AZAL MENJEMPUT MEREKA SADAR, BAHWA SEGALA SESUATU YANG MEMBERIKAN KEBERKAHAN DAN KEBERUNTUNGAN BUKAN BENDA YANG DIANGGAP TUHAN, MEREKA BISA SAJA MENYEBUT YANG MEMBERIKAN KEKUASAAN ADALAH ALLOH SWT, ITU KALAU BERTOBAT. KALAU SAMA SEKALI TIDAK INGAT ALLOH, MAKA CELAKALAH--CELAKALAH...CELAKALAH.. MEREKA.
MATI DALAM KEADAAN MUSYRIK MAKA NERAKALAH TEMPATNYA, SEBAGAIMANA HADITS ROSULULLOH SAW :
DALAM SEBUAH RIWAYAT MUSLIM DARI JABIR RODIYALLOHUAN BAHWA ROSULULLOH SAW BERSABDA " BARANG SIAPA MENEMUI ALLOH SWT DALAM KEADAAN TIDAK MENYEKUTUKANNYA DENGAN SESUATUPUN, PASTI DIA MASUK SYURGA. DAN BARANG SIAPA YANG MENEMUI ALLOH SWT DALAM KEADAAN MENYEKUTUKAN-NYA DENGAN SESUATU PASTI DIA MASUK NERAKA."
HADITS LAIN :
DARI IBNU MAS'UD RODIYALLOHUAN BAHWA ROSULULLOH SAW BERSABDA : BARANG SIAPA YANG MENINGGAL DALAM KEADAAN DIA BERDOA (BERIBADAH) KEPADA TANDINGAN BAGI ALLOH SWT PASTI DIA MASUK NERAKA (HR. AL-BUKHARI)
SUMBER : KITAB TAUHID : SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB.
Catatan :
Kitab yang ditulis dari kitab ini seluruhnya bersumber :
- Al-quran
- Hadits Shahih
Posted by
Calung Blogger
Menjadikan atau memperbaharui hari yang dikeramatkan oleh kebanyakan orang dikatakan sebagai ibadah, seperti juga dalam islam banyak hari-hari tertentu dijadikan hari raya atau menjadikan kegiatan-kegiatan yang tertentu. Dan menurut anggapan islam yang berkiblat pada hal yang bid'ah itu boleh-boleh saja secara hukum adat yang mereka anut menurut tradisi yang mereka pahami , yang secara pasti tradisi-tradisi ini tidak akan pernah mereka tinggalkan sampai hari Kiamat, terkecuali bagi orang-orang yang diberi hidayah oleh Alloh SWT.
Tetapi dalam islam Ahlussunah yang mengikuti Al-quran dan Al-Hadits justru mengada-adakan hal yang perkara baru yang tidak dilakukan Rosululloh SAW dalam ibadah adalah merupakan perbuatan Bid'ah. Dan ini sudah semakin jelas dan menjadi kenyataan bahwa bid'ah itu memang tidak pernah dilakukan Rosululloh SAW. Karena sewaktu nabi hidup beliau tidak pernah mengulang tahun tentang kelahiran dirinya, dan tidak pernah merayakan hari kelahiran nabi-nabi sebelumnya. Hanya nabi telah menetapkan hari-hari raya yang dianjurkan adalah hanya 3 hari raya yaitu : Hari raya Idul fitri, Idul Adha (wajib) dan Hari Jum'at (wajib), dan ketiga hari raya memang dilaksanakan di jaman Rosululloh SAW yang kemudian diikuti oleh para sahabat, tabiin, thabiut tabiin dan generasi selanjutnya (Manhaj Salaf) yang mengikuti akhlak Rosululloh SAW.
Perayaan-perayaan selain 3 hari raya yang disebutkan tadi, ini sebetulnya muncul ke permukaan setelah umat-umat lainnya memperingati hari-hari besarnya seperti Hari Paskah dan Natal oleh Umat Kristen, Hari raya galungan oleh umat Hindu dan hari raya waisak oleh umat budha.
Tetapi dalam islam Ahlussunah yang mengikuti Al-quran dan Al-Hadits justru mengada-adakan hal yang perkara baru yang tidak dilakukan Rosululloh SAW dalam ibadah adalah merupakan perbuatan Bid'ah. Dan ini sudah semakin jelas dan menjadi kenyataan bahwa bid'ah itu memang tidak pernah dilakukan Rosululloh SAW. Karena sewaktu nabi hidup beliau tidak pernah mengulang tahun tentang kelahiran dirinya, dan tidak pernah merayakan hari kelahiran nabi-nabi sebelumnya. Hanya nabi telah menetapkan hari-hari raya yang dianjurkan adalah hanya 3 hari raya yaitu : Hari raya Idul fitri, Idul Adha (wajib) dan Hari Jum'at (wajib), dan ketiga hari raya memang dilaksanakan di jaman Rosululloh SAW yang kemudian diikuti oleh para sahabat, tabiin, thabiut tabiin dan generasi selanjutnya (Manhaj Salaf) yang mengikuti akhlak Rosululloh SAW.
Perayaan-perayaan selain 3 hari raya yang disebutkan tadi, ini sebetulnya muncul ke permukaan setelah umat-umat lainnya memperingati hari-hari besarnya seperti Hari Paskah dan Natal oleh Umat Kristen, Hari raya galungan oleh umat Hindu dan hari raya waisak oleh umat budha.
Secara nyata umat islam ini hanya ikut-ikutan saja atau mengikuti umat agama sebelum islam. Bisa jadi dengan merayakan hari-hari ulang tahun itu umat islam secara umum merasa ketinggalan zaman. atau karena merasa tidak bergengsi.
Padahal jika dikaji dengan benar buat apa berhura-hura kalau tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh SAW, yang pada kenyataannya dengan mengadakan perayaan-perayaan tersebut maka akan terjadi kelalaian terhadap ibadah yang diperintahkan oleh Alloh SWT. Salah satu contoh dengan perayaan-perayaan itu banyak orang tidak bisa melakukan shalat pada waktunya, bahkan sama sekali meninggalkan kewajibannya itu, lebih-lebih dengan perayaan itu banyak remaja berbuat brutal di jalan dengan membunyikan petasan dan meraung-raungkan kendaraan, ini bisa mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang lain.
Jadi seorang muslim yang banyak belajar di pondok pesantren itu jangan kalah imannya oleh orang yang tidak pernah mondok di pesatren, tapi justru mereka tak kalah hebat dalam masalah agama bersungguh-sungguh dalam memahami Al-quran dan Al-Hadits. Jadi orang beriman itu hidupnya tidak pernah makar terhadap negara atau pemerintah, tidak beradu pemahaman atau otot dengan seagama hanya perbedaan pendapat atau hanya informasi bersifat provokatif, ternyata mudah diadu domba oleh orang yang tidak bertanggungjawab yang tidak tentu agamanya. Apalagi di bulan suci Ramadhan ini nafsu bagi orang puasa (shaum) harus dikendalikan, jika tidak, buat apa berpuasa, tidak ada artinya sama sekali. Ibarat seorang islam yang rajin shalat tetapi kesehariannya berbuat musyrik, tangtulah ibadah shalatnya itu tidak diterima oleh Alloh SWT. Iman itu bukan hanya kepercayaan atau perkataan saja, melainkan terfokus kepada pelaksanaannya sesuai dengan hati nurani, dan iman itu tidak pudar dengan bentuk apapun, baik materi atau motivasi. Jadi kata orang sunda itu " Ongkoh nu diibadahan teh ka Alloh, geuning ka salian Alloh oge dipuntangan". (lihat surat Al-Fatihah :5, yang artinya "Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu meminta pertolongan.
Adu domba ini memang tidak akan pernah berhenti sampai hari Kiamat, Kenapa bisa demikian " Karena dalam sebuah hadits Rosululloh SAW yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab " Bahwa umat islam ini akan terpecah menjadi 73 firkoh atau golongan dan hanya satu saja yang masuk syurga yaitu "Ahlussunah Waljamaah" dan ini memang benar apa yang dikatakan Rosululloh SAW, bahwa dalam kenyataannya islam tidak pernah bersatu.
Adu domba ini memang tidak akan pernah berhenti sampai hari Kiamat, Kenapa bisa demikian " Karena dalam sebuah hadits Rosululloh SAW yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab " Bahwa umat islam ini akan terpecah menjadi 73 firkoh atau golongan dan hanya satu saja yang masuk syurga yaitu "Ahlussunah Waljamaah" dan ini memang benar apa yang dikatakan Rosululloh SAW, bahwa dalam kenyataannya islam tidak pernah bersatu.
Posted by
Calung Blogger
Segala puji hanya bagi Allah. Semoga
shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa
tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata, dan tidak ada
sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
Amma ba’du.Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi, bahwa
hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh
yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya
senantiasa terulang setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan
selainnya. Dengan hadiah, terwujudlah kesempurnaan untuk meraih kecintaan,
kasih sayang, sirnanya kedengkian, dan terwujudnya kesatuan hati.Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan
bersihnya hati, padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Dan oleh karena
itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan menganjurkan
untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan
hadits di dalam Shahihnya (2585), dan hadits ini memiliki hadits-hadits
pendukung yang lain. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al
Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila diberi makanan,
beliau bertanya tentang makanan tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?”
Apabila dikatakan, “Shadaqah” maka beliau berkata kepada para shahabatnya,
“Makanlah!” Sedangkan beliau tidak makan. Dan apabila dikatakan “Hadiah”,
beliau mengisyaratkan dengan tangannya (tanda penerimaan beliau -pent). Lalu
beliau makan bersama mereka. (HR. Al Bukhari [2576] dan Muslim [1077]). Dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,“Hendaknya kalian saling memberi
hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul
Mufrad, lihat Shahihul Jami’ [3004] dan Al Irwa’ [1601])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
juga bersabda,“Penuhilah undangan, jangan menolak
hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah,
Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan Shahihul Jami’ Ash Shaghir [158]). Dan dikarenakan sangat pentingnya dan
pengaruh hadiah di dalam perikehidupan kaum muslimin serta perhatian Islam
terhadapnya mengharuskan untuk dijelaskannya perkara-perkara yang berkaitan
dengan hadiah berupa keadaan-keadaan, hukum-hukum, apa-apa saja yang
diperbolehkan dari hadiah tersebut serta yang tidak diperbolehkan.
Pengertian Hadiah (Al-Athiyah, pemberian
-pent)
Menurut istilah syar’i, maka hadiah
ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan
baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat. Dan di sana ada sisi keumuman dan
kekhususan di kalangan para ulama antara hibah, pemberian (athiyah) dan
shadaqah. Dan poros definisi di antara tiga perkara ini adalah niat, maka
shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari
wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah diberikan kepada orang yang fakir dan
orang kaya, dan diniatkan untuk meraih rasa cinta dan membalas budi atas hadiah
yang diberikan (sebelumnya -pent). Dan terkadang pemberian hadiah itu juga
bertujuan untuk mencari wajah Allah. Adapun hibah dan athiyah, tidak ada di
antara keduanya perbedaan dan terkadang dimaksudkan untuk memuliakan orang yang
diberikan hibah atau athiyah saja dikarenakan suatu keistimewaan atau sebab
tertentu dari sebab-sebab yang ada.
Hukum Hadiah
Diperbolehkan dengan kesepakatan (ulama
-pent) umat ini. Apabila tidak terdapat di sana larangan syar’i. Terkadang
disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung
silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Terkadang disyariatkan apabila dia
termasuk di dalam bab ‘Membalas Budi dan Kebaikan Orang Lain dengan Hal yang
Semisalnya’. Dan terkadang pula, bisa menjadi haram atau perantara menuju
perkara yang haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram,
atau termasuk dalam kategori sogok-menyogok dan yang sehukum dengannya. Dan
akan datang sebentar lagi pembahasan tentang macam-macam hadiah dan hukum
masing-masing darinya.
Hukum Menerima Hadiah
Para ulama berselisih pendapat tentang
orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya atau
disunnahkan saja? Dan pendapat yang kuat bahwasanya orang yang diberikan hadiah
yang mubah dan tidak ada penghalang syar’i yang mengharuskan menolaknya, maka
wajib menerimanya, dikarenakan dalil-dalil berikut ini:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,“Penuhilah undangan, jangan menolak
hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (Telah lewat takhrijnya yaitu
di dalam Shahihul Jami’ [158])
2. Di dalam Ash Shahihain (Al Bukhari
dan Muslim -pent.) dari Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan,
‘Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku’, maka beliau menjawab,
‘Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau
tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu,
jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah. Dan bila engkau tidak
menginginkannya, bershadaqahlah dengannya’.”
Salim bin Abdillah berkata, “Oleh
karena itu, Abdullah (bin Umar -pent.) tidak pernah meminta kepada orang lain
sedikitpun, dan tidak pula menolak bingkisan yang diberikan kepadanya
sedikitpun.” (Shahih At Targhib No. 835)
Dan di dalam sebuah riwayat, Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya!
Saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun, dan tidaklah aku
diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya….”
(Shahih At Targhib [836])
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan sebab yang syar’i
sebagaimana akan dijelaskan sebentar lagi. Oleh karena adanya dalil-dalil ini,
maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i.
4. Demikian pula di antara dalil-dalil
yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Barangsiapa yang Allah datangkan
kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah dia
menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan
kepadanya.” (Shahih At Targhib [839])
Dan di dalam riwayat lain dari Khalid
Al Jahnany radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Barangsiapa yang sampai kepadanya
sebuah kebaikan dari saudaranya dengan tanpa meminta dan tamak, hendaklah dia
menerimanya dan tidak menolaknya, karena sesungguhnya itu merupakan rezeki yang
Allah Azza wa Jalla kirimkan kepadanya’.” (HR. Ahmad, Ath Thabrani, Ibnu
Hibban, Al Hakim, Shahih At Targhib wat Tarhib [838])
Maka menjadi kuatlah (pendapat yang
mengatakan -pent.) wajibnya menerima hadiah apabila tidak ada di sana larangan
syar’i.
Hukum Menolak Hadiah
Setelah jelas bagi kita wajibnya
menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan udzur syar’i.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk menolak hadiah dengan
sabda beliau,
“Jangan kalian menolak hadiah.” (Telah
lewat takhrijnya)
Dan terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menolak hadiah dikarenakan satu sebab dari sebab-sebab yang ada. Di
antaranya:
1. Di dalam Ash Shahihain dari hadits
Ash Sha’bu bin Jutsamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau memberi hadiah
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menolaknya. Maka tatkala beliau melihat ada
sesuatu di raut wajah Ash Sha’bu, beliau berkata,
“Ketahuilah, sesungguhnya kami tidak
menolaknya, hanya saja kami dalam keadaan sedang berihram.” (HR. Al Bukhari
[2573], Muslim [1193])
Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits
ini ada dalil bahwasanya tidak boleh menerima hadiah dan tidak halalnya hadiah
(ketika ihram, -pent.).”
2. Dalam Ash Shahihain dari hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ummu Hafid, bibinya Ibnu Abbas
pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tepung
aqith, minyak samin dan daging dhab (sejenis biawak -ed.). Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam makan tepung aqith dan minyak samin, namun
meninggalkan daging dhab dikarenakan merasa jijik.” (HR. Al Bukhari [2575], dan
Muslim hal. 1544)
Dan dalam hadits ini ada beberapa
faidah:
• Bolehnya menerima hadiah dari para
wanita apabila aman dari fitnah.
• Bolehnya menolak hadiah dikarenakan
suatu sebab.
• Seseorang yang memberi hadiah tidak
boleh merasa sedih apabila hadiahnya ditolak, dan hendaknya dia memberi udzur
bagi orang yang menolaknya. Atau tidak boleh merasa berduka, selama alasannya
jelas.
3. Dan di dalam Abu Dawud, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
“Demi Allah, saya tidak akan menerima
hadiah dari seorang pun setelah hari ini kecuali dia seorang Muhajir Quraisy,
atau seorang Anshar, atau seorang dari suku Daus atau seorang dari suku
Tsaqif.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Shahih Adabul Mufrad [464], Ash Shahihah
[1684])
Dan pernah ada seorang arab gunung
memberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor unta lalu
beliau menggantinya, maka sang badui ini memarahi beliau, lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam menambahnya dan bersabda,
“Apakah kamu telah ridha?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Lalu ditambah lagi oleh beliau hingga
beliau menggantinya dengan enam ekor unta.” (Silakan merujuk riwayat-riwayat
ini dalam Jami’ul Ushul [11/611])
t untuk mengambil lebih banyak darinya,
dan jikalau dia tidak mengambil lebih banyak dari hadiah yang dia berikan, dan
ini membuat si pemberi marah, maka boleh menahan diri dari menerima hadiahnya.”
Dan di dalam hadits ini ada dalil yang
menunjukkan bolehnya menolak hadiah apabila dia khawatir muncul fitnah dari
hadiah tersebut, atau terdapat penghinaan terhadap orang yang mengambil hadiah
tersebut. Dan demikian pula Sulaiman ‘alahissalam menolak hadiah Ratu Balqis
dikarenakan ia merupakan suap-menyuap di dalam perkara agama agar Sulaiman
‘alaihissalam diam darinya dan membiarkan dia beribadah kepada matahari.
Apabila hadiah tersebut berupa suap-menyuap untuk membatalkan kebenaran dan
melegalkan kebatilan, maka tidak boleh diterima ketika itu.
Dan demikian pula apabila hadiah
tersebut diperuntukkan bagi para pemimpin, para menteri, dan para pejabat, agar
mereka memberimu sesuatu yang bukan menjadi hakmu, atau mereka memaafkan kamu
dari sesuatu yang tidak pantas untuk mereka maafkan, maka ketika itu haram
bagimu memberikan hadiah dan haram bagi mereka menerima hadiah tersebut
dikarenakan itu merupakan suap-menyuap, dan sungguh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah melaknat orang yang menyuap dan
orang yang menerima suap di dalam hukum.” (Shahihul Jami’ [5093])
Dan demikian pula apabila hadiah
tersebut berupa barang curian atau barang haram. Maka tidak boleh diterima
karena yang demikian itu termasuk makan barang haram dan termasuk
tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.
Dan telah lewat di antara kita hadits
Ash Sha’bu bin Jutsamah bahwasanya dia memberikan hadiah kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, sedangkan beliau dalam
keadaan ihram, maka beliau menolaknya dikarenakan tidak boleh seorang yang
ihram untuk berburu ketika dia beribadah.
Begitu juga apabila yang memberi hadiah
tersebut menganggap hadiahnya sebagai hutang bagimu dan kamu tidak menginginkan
untuk menanggung hutang tersebut, baik secara syar’i maupun secara kebiasaan,
maka boleh bagimu untuk menahan diri dari mengambilnya disertai dengan meminta
udzur. Dan demikian pula bila sang pemberi hadiah tersebut adalah seorang yang
suka mengungkit-ungkit pemberiannya dan menceritakannya, maka tidak boleh
diterima hadiah itu darinya.
Kesimpulannya, hukum asal adalah wajib
menerima hadiah dan tidak boleh menolaknya kecuali apabila didapati larangan
syar’i atau udzur maka boleh menolaknya.
Macam-macam
Hadiah yang Tidak Boleh Ditolak
Telah lewat bersama kita dalil-dalil
secara umum yang menunjukkan tidak bolehnya menolak hadiah. Akan tetapi telah
datang dalil-dalil khusus yang menunjukkan tidak bolehnya menolak sebagian
hadiah disebabkan zat hadiah tersebut. Di antaranya:
1. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam,
“Tiga perkara yang tidak boleh ditolak:
bantal-bantal, minyak wangi, dan susu.” (HR. At Tirmidzi dari Umar, dan
terdapat di dalam Shahihul Jami’ [3046] dan Ash Shahihah [619] dan Shahih At
Tirmidzi [2241])
Ath Thibi rahimahullah berkata, “Beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan bahwasanya tamu itu dimuliakan dengan
memberikan bantal, minyak wangi, dan susu. Dan itu merupakan hadiah yang
sedikit jumlahnya, maka tidak sepantasnyalah ditolak.” (Tuhfatul Ahwadzi
[8/61], hadits no. 2942)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa ditawari raihan, maka
jangan menolaknya, sebab raihan itu mudah dibawa lagi harum baunya.” (HR.
Muslim, Abu Dawud, Musnad Abu Ya’la, Shahihul Jami’ [6268])
Ibnu Atsir berkata di dalam An Nihayah,
“Ar Raihan adalah setiap tumbuhan yang harum baunya yang termasuk dari jenis
wewangian.”
2. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak
minyak wangi.”
Membalas
Pemberian Hadiah (yaitu membalas kebaikan orang yang memberi hadiah dengan
hadiah semisalnya)
Disunnahkan membalas pemberian hadiah
dengan yang semisalnya atau dengan sesuatu yang lebih afdhal dari hadiah
tersebut, maka apabila dia tidak mampu untuk membalasnya, hendaknya dia
menyanjung sang pemberi hadiah dan mendoakan kebaikan untuknya dengan ucapan,
“Jazaakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan),” atau yang
selainnya dari doa-doa yang ada.
1. Di dalam Shahih Al Bukhari (2585),
dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”
2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang meminta perlindungan
kepada kalian dengan nama Allah, maka lindungilah dia. Dan barangsiapa yang
meminta kepada kalian dengan nama Allah, maka berilah dia. Dan barangsiapa
mengundang kalian, maka penuhilah undangan tersebut. Barangsiapa berbuat kebajikan
pada kalian. Maka balaslah dengan semisalnya. Lalu jika kalian tidak mendapati
sesuatu yang semisalnya yang bisa kalian berikan, maka doakanlah dia dengan
kebaikan hingga kalian memandang bahwasanya kalian sungguh telah membalasnya
dengan semisalnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [6021])
3. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa diberikan sesuatu lalu dia
mendapati (suatu untuk membalasnya -pent.), hendaknya dia membalas dengannya.
Dan barangsiapa yang tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya -pent.)
hendaknya ia menyanjungnya. Apabila dia telah menyanjungnya, sungguh ia telah
berterima kasih kepadanya.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Shahih Al Bukhari, Al Adabul
Mufrad lil Bukhari, Shahihul Jami’ [6065], dan Ash Shahihah [617])
4. Dikeluarkan oleh Al Imam Ath
Thabrani dari Al Hakam bin Umair, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa memberikan sesuatu kepada
kalian berupa kebajikan, maka balaslah dengan semisalnya. Kalau kalian tidak
mendapati (apapun untuk membalasnya -pent.) maka doakanlah kebaikan untuknya.”
(Shahihul Jami’ [5937], Shahihut Targhib)
5. Dan dari Usamah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang diberikan sesuatu
kebaikan, lalu dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Maka sungguh dia benar-benar
telah berterimakasih kepadanya.” (HR. At Tirmidzi dan yang selainnya, Shahihut
Targhib wat Tarhib [955])
Dari hadits-hadits ini nampak jelas
bagi kita bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam membalas
pemberian hadiah dengan semisalnya dan bahwasanya sudah sepantasnya
berterimakasih kepada si pemberi hadiah, memujinya dan mendoakan kebaikan
untuknya, dikarenakan tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah, orang yang
tidak berterimakasih kepada manusia.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi hadiah
berupa seekor kambing, beliau bersabda, “Bagi-bagikan ia.” Apabila si pembantu
telah kembali maka ‘Aisyah bertanya kepadanya, “Apa yang mereka katakan?” Si
pembantu menjawab, “Mereka mengucapkan ‘Barakallahu fiikum (semoga Allah
memberkahi kalian)’.” Lalu ‘Aisyah mengucapkan, “Wa fii him barakallah (dan
semoga Allah memberkahi mereka), kita membalas mereka dengan semisal apa yang
mereka ucapkan, dan semoga pahala kita tetap bagi kita.” (Shahih Al Kalimut Thayyib
[185])
Hukum
Meminta Kembali Hadiah (yang telah diberikan -pent.), Tidak Boleh kecuali Orang
Tua kepada Anaknya
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Orang yang meminta kembali hibahnya
itu seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2589],
Muslim [3622])
Al Imam Al Bukhari memberikan
keterangan di dalam Shahihnya, “Bab Tidak Halal bagi Seseorang untuk Meminta
Kembali Hibah dan Shadaqahnya.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata di
dalam Fathul Bari (5/235), “Jumhur ulama berpendapat haram meminta kembali
suatu hibah (pemberian) setelah diserahterimakan, kecuali hibah orang tua
kepada anaknya.”
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Tidak ada menurut kami permisalan yang
lebih jelek daripada seorang yang meminta kembali hibahnya diserupakan seperti
anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2622])
Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya ialah
tidak pantas bagi kita -wahai segenap kaum mukminin- bersifat dengan sifat yang
tercela yang kita diserupakan di dalamnya dengan hewan yang paling hina pada
keadaan yang paling hina… Barangkali ini lebih mengena di dalam pelarangan
terhadap hal yang demikian itu dan lebih menunjukkan pengharaman daripada
seandainya beliau mengatakan semisal,
“Janganlah kalian meminta kembali hibah
yang telah diberikan.” (Shahih, 5/235)
Imam An Nawawi berkata, “Hadits ini
jelas-jelas mengharamkan meminta kembali hibah (shadaqah) setelah
diserahterimakan. Ini dibawa kepada hibah yang diperuntukkan kepada orang lain.
Adapun apabila dia memberikan hibah tersebut kepada anaknya dan anak cucunya,
maka boleh bagi dia meminta kembali hibah tersebut. Sebagaimana ditegaskan di
dalam hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu. Dan tidak boleh meminta
kembali hibah yang telah diberikan kepada saudara, paman, dan selain mereka
dari kalangan dzawil arham (orang-orang yang memiliki hubungan persaudaraan
dengannya). Ini merupakan madzhab Imam Asy Syafi’i, pendapat ini diucapkan pula
oleh Imam Malik dan Al Auza’i.” (Syarah Muslim, 11/71)
Saya katakan bahwa sungguh telah shahih
hadits-hadits yang secara tegas mengharamkan meminta kembali hadiah yang telah
diberikan, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Dan
di antaranya:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Tidak
halal bagi seseorang memberikan sebuah hibah lalu memintanya kembali kecuali
orang tua yang memberi hadiah kepada anaknya. Dan perumpamaan seseorang yang
memberikan suatu pemberian kemudian memintanya kemb
ali seperti anjing memakan makanan,
maka apabila telah kenyang, ia muntahkan kemudian ia jilat kembali muntahnya.”
(HR. Al Bukhari, Al Arba’ah [Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i, Ibnu Majah],
Shahihul Jami’ [7655])
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Tidak boleh bagi seseorang meminta
kembali hibahnya kecuali orang tua kepada anaknya. Dan seorang yang meminta
kembali hibahnya seperti seorang yang memakan kembali muntahnya.” (Shahih
Muslim, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [7686])
Kemudian di sana ada beberapa keadaan
diperbolehkan hadiah itu ditolak dan dimintakan kembali:
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Ath
Thabari berkata, “Dikhususkan dari keumuman hadits ini beberapa hal:
a. Seorang yang memberikan hibah dengan
syarat meminta imbalan kembali.
b. Orang yang memberi tersebut adalah
orang tua, sedangkan yang diberi itu adalah anaknya.
c. Hibah yang belum diserahterimakan.
d. Pemberian yang dikembalikan oleh
ahli waris kepada orang yang menghibahinya, dikarenakan telah tetapnya
hadits-hadits yang mengecualikan semua itu.”
Hukum
Mengungkit-ungkit Hadiah (yang telah diberikan)
Allah Ta’ala berfirman,
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf
lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan
si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al Baqarah: 263-264)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
“Tiga golongan yang tidak diajak bicara
oleh Allah pada hari kiamat dan Allah tidak mau melihat mereka dan juga tidak
mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang pedih.” Abu Dzar berkata, “Betapa
celaka dan ruginya mereka. Siapakah mereka ya Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Seorang yang musbil (orang yang memanjangkan celana/sarungnya melebihi mata
kakinya), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang
menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, 106)
Dan di dalam riwayat Muslim yang lain,
“Seorang yang suka mengungkit-ungkit
pemberian yang tidaklah dia memberikan sesuatu melainkan dia
mengungkit-ungkitnya.”
Maka jelaslah bagi kita
mengungkit-ungkit di dalam pemberian hadiah, termasuk dari dosa-dosa besar.
Hukum
Hadiah yang Tidak Dikenal, yaitu yang Pemiliknya Tidak Diketahui
Hukumnya diperbolehkan kecuali ada
dugaan kuat bahwa pemiliknya atau yang orang yang memaksudkan hadiah tersebut
keliru untuk siapa hadiah tersebut diberikan.
Hukum
Bila Orang yang Diberikan Hadiah Tersebut Meninggal Sebelum Sampainya Hadiah
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadiah
tersebut tidak berpindah kepada orang yang diberi, kecuali dia atau wakilnya
telah menerima hadiah tersebut. ‘Abidah As Salmani berkata, “Apabila hadiah
tersebut telah dibagi-bagikan maka untuk ahli warisnya. Dan apabila belum
dibagi-bagikan, maka dikembalikan kepada orang yang memberikan hadiah
tersebut.”
Dan yang benar adalah pendapat jumhur
bahwasanya apabila ia, wakilnya, atau utusannya telah menerima hadiah itu, maka
ia diperuntukkan bagi ahli waris si penerima. Dan demikian pula apabila si
pemberi telah menjanjikan hadiah tersebut kepada si penerima sebelum si
penerima wafat. (Silakan rujuk Fathul Bari, 5/221-222)
Hadiah
untuk Kerabat yang Terdekat Itu Lebih Utama (kedekatan dari sisi nasab dan
bertetangga)
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan
bahwa Maimunah radhiyallahu ‘anha pernah suatu kali memerdekan seorang budak
wanita, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,
“Ketahuilah sesungguhnya kamu jika
memberikannya kepada paman-pamanmu (dari pihak ibu) niscaya kamu akan
mendapatkan pahala yamg lebih besar.” (HR. Al Bukhari [2592], dan Muslim [999])
Dan di dalam Shahih Al Bukhari (2595)
diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
memiliki dua orang tetangga, maka siapakah di antara keduanya yang lebih layak
aku berikan hadiah?”
Beliau menjawab,
“Kepada yang lebih dekat pintunya
darimu.”
Maka bisa diambil faedah dari dua
hadits ini bahwa kerabat itu lebih didahulukan di dalam pemberian hadiah
daripada orang asing. Dan apabila para kerabat itu setara dalam tingkat
kekerabatannya, maka didahulukan yang paling dekat pintunya. Dan ini semua
apabila mereka sama-sama membutuhkan. Wallahu a’lam.
1. Apakah si pemberi itu ikhlas atau ridho atas pemberiannya ?
2. Apakah si Penerima mau menerima atas pemberiannya ?
3. Apakah pemberian ini tidak menimbulkan sifat "Riya" untuk dirinya?, dalam arti pemberian itu ingin dipuji orang lain atau semata-mata ingin menjadikan nilai surplus atau tujuan-tujuan tertentu terhadap pemberiannya itu.
4. Apakah pemberian ini hanya pada keterpaksaan saja?, Ketika ada orang yang meminta baru bisa memberi. Kalau terpaksa memberi, lebih baik jangan.
4. Apakah pemberian ini hanya pada keterpaksaan saja?, Ketika ada orang yang meminta baru bisa memberi. Kalau terpaksa memberi, lebih baik jangan.
5. Apakah memberikan sesuatu tidak menimbulkan suatu kebencian antara pemberi dan penerima?. Semisal dalam satu keluarga seorang ibu atau ayah memberikan hadiah kepada anak-anaknya, ternyata diantara anaknya ada yang tidak terbagi hadiah tadi atau secara sengaja memang tidak dijatah dalam pemberian itu, sehingga hal ini akan menimbulkan suatu kebencian atau menimbulkan rasa iri hati terhadap saudara-saudaranya, yang tentunya akan menjadi beban pikiran anak-anak yang tidak diberi tadi, maka kemudian akan timbulah rasa benci terhadap saudara-saudaranya, bahkan ia akan merasa sakit hati terhadap ayah atau ibunya itu. Jika hal itu terjadi maka pemberian itu tidak menjadi suatu pahala bagi si pemberi, malah hal ini akan bisa menambah dosa.
Dengan demikian bahwa dalam memberikan sesuatu itu harus bersikap adil dan harus lebih dahulu melihat situasi dan kondisinya sesuai tujuan pemberian tersebut.
Sumber:
http://fadhlihsan.wordpress.com/
Menebar Cinta dengan Hadiah
karya Ibrahim bin Abdillah Al Mazru’i (penerjemah: Ibnu Musa Al Bankawy),
penerbit: Al Husna, Jogyakarta. Hal. 9-12, 14-15, dan 19-51.
Posted by
Calung Blogger
Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu bad‘an
wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan
sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u,
artinya sesuatu yangmenjadi awal permulaan.
Dalam al-Qur-an disebutkan:
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.’” (QS.
Al-Ahqaaf: 9)
Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam) bukanlah
Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku yang telah
diutus pula.
Terdapat ungkapan: ‘Fulaanun bid‘in fii hadzal ‘amri,’ yang
artinya Fulan yang pertama kali melakukan perkara ini, tidak ada seorang
pun yang mendahuluinya. Maka dari itu, kata abda‘a, ibtada‘a,
maupun tabadda‘a bermakna melakukan perbuatan bid‘ah.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah.’ (QS. Al-Hadiid:
27)
Ru’bah berkata dalam
sya‘irnya:
andaikata engkau benar bertakwa dan taat kepada Allah
maka tidaklah benar engkau
ada-adakan perbuatan bid‘ah
Lafazh badda‘ahu berarti menjatuhkan vonis
bid‘ah atas seseorang. Adapun Abda’ta syai-a, kalimat ini berarti
kamu membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Al-Badii’ adalah
salah satu asma (nama) Allah, yang bermakna Yang menciptakan dan mengadakan
sesuatu dari ketiadaannya. Dialah pencipta pertama sebelum segala sesuatu ada.
Boleh juga dimaknai dengan mubdi’ (yang mengadakan); atau, makna asal dari kata
bad‘al khalqa artinya yang memulai penciptaan makhluk.
Allah Ta'ala adalah Al-Badii’ (Yang Maha Mencipta), sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
‘Allah pencipta langit dan bumi.’ (QS. Al-Baqarah: 117)
Yakni, yang menciptakan dan yang mengadakan keduanya dari
ketiadaan. Dengan demikian, Allah adalah Yang Maha Mencipta lagi Maha
Mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Kata siqaa‘u badii‘un, artinya tempat air yang
baru. Kalimat Abda‘atil ibilu berarti unta itu berlutut di tengah jalan karena
lemah, sakit, atau letih. Abda‘at hiya, artinya dia (perempuan) letih dan
lemah. Menurut satu pendapat, arti lafazh al-ibdaa’ adalah kelemahan yang
disebabkan oleh kepincangan atau cacat.
Terdapat pernyataan: ‘Ubdi‘a ubdi‘a bihi wa abda‘a,’ yang
artinya hewan tunggangan seseorang keletihan atau mogok (tidak dapat berjalan
lagi), sehingga menyebabkan orang itu tidak bisa melanjutkan perjalanan karena
punggung tunggangannya lelah atau tiba-tiba mendekam, yakni berhenti.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
إِنِّي أُبْدِعَ بِيْ فَاحْمِلْنِي
“Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hewan
tungganganku mogok, maka tolong angkut aku.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya
(III/1506, Kitab “al-Imaarah”, no. 1893)]
Maksudnya, perjalanan orang itu terputus karena hewan
tunggangannya keletihan. Seolah-olah, ia menganggap mogoknya hewan tunggangan
yang seharusnya terus berjalan itu sebagai sesuatu yang baru. Dengan kata lain,
terjadinya sesuatu di luar dugaan atau ia mengalami sesuatu di luar kebiasaan.”
[Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur (VIII/6-8)].
Berdasarkan uraian di
atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata bada‘a adalah mengadakan sesuatu
tanpa ada contoh sebelumnya, secara umum. Ibdaa‘ul ibil, yang berarti keletihan
dan kelesuan unta, juga merupakan sesuatu yang baru mengingat kebiasaan unta
adalah terus-menerus berjalan. Dengan demikian, kata bid‘ah adalah kata benda
turunan dari kata al-ibtida’, seperti halnya kata rif‘ah yang merupakan kata
benda turunan dari kata al-irtifa’, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa
ada contoh sebelumnya. [Lihat al-Bid‘ah karya Dr. Izzat Athiyyah (hlm. 157)].
2. Bid‘ah Secara Terminologi (Syar'i)
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut
terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan
dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang
mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji
maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.
Pendapat pertama:
Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang
tercela.
Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis
Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam kitab
an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh Shahiih
Muslim. [Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155)
Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam
asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang
tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang
bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” [Lihat Hilyatul Auliyaa’
karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)]
Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi bid‘ah:
“Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” [Lihat
Qawaa-idul Ahkaam (II/172)].
Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang diriwayatkan
dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang shalat
Tarawih : “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).”
[HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/250], Kitab “ash-Shalaatut
Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (I/114), dengan
redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”]
Pendapat kedua:
Kata bid‘ah hanya digunakan untuk menyebut amalan-amalan yang
bertentangan dengan sunnah Nabi.
Inilah pendapat asy-Syathibi [Lihat al-I’tisham
(I/37)], Ibnu Hajar al-Asqalani [Lihat Fat-hul Baari
(XIII/253)], Ibnu Hajar al-Haitami [Lihat al-Fataawa
al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)], Ibnu Rajab al-Hanbali [Lihat
Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Lihat
catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul Kaaminah (I/144-160), Dzail
Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul Wafayaat (I/74-80), dan
al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az-Zarkasyi [Lihat
al-Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah sunnah dan bid‘ah telah kami
tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah yang
tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang tidak
diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan atau
dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut termasuk
ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama berbeda pendapat
tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah itu pernah
dilaksanakan pada zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam maupun belum.
Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi kaum yang murtad dan
kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi, mengeluarkan bangsa
Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang semisalnya, maka semua
itu termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.” [Lihat Majmuu’
Fataawa (IV/107-108)].
Al-Imam asy-Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai berikut: “Bid‘ah adalah
suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at,
dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta'ala.”
Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak menggolongkan
perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang mengkhususkan
bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah.
Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat ke dalam
bid‘ah, mereka berkata:
“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang
bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama
dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.” [Lihat al-I’tishaam (I/37)]
3. Beberapa Dalil Pendapat Kedua
a. Dalil dari as-Sunnah
1.
Hadits riwayat Jabir
bin ‘Abdillah ia berkata: “Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya
memuncak, hingga seolah-olah beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan
perang. Beliau bersabda: ‘Siap siagalah kalian setiap saat!’ Setelah itu,
beliau bersabda: ‘(Antara) aku diutus dan (terjadinya) Kiamat adalah seperti
kedua (tangan) ini,” seraya memberi isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari
telunjuk dan jari tengah.’ Beliau meneruskan:أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ‘Amma ba’du, sesungguhnya perkataan
yang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad,
dan perkara yang terburuk adalah perkara baru (bid‘ah), dan setiap bid‘ah
adalah sesat.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim karya
an-Nawawi VI/153-154, Kitab “al-Jumu‘ah”), an-Nasa-i dalam Sunan-nya (III/189,
Kitab “ash-Shalaatul ‘Iedain”) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/17,
muqaddimah)].
2.
Hadits riwayat
al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata: “Pada suatu hari, Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam shalat mengimami kami. Setelah selesai, beliau menghadap ke
arah kami dan menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, hingga membuat air
mata kami berlinang dan hati tergetar. Seorang hadirin berkata: ‘Wahai
Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan. Jika demikian, apa yang
akan engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau menjawab:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ
عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
‘Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada
Allah, selalu patuh dan taat (kepada yang memimpin kalian), meskipun ia seorang
budak dari habasyah (berkulit hitam). Sebab, siapa saja dari kalian yang masih
hidup sepeninggalku pasti akan melihat perselisihan yang begitu banyak. Maka
dari itu, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi
geraham kalian (maksudnya, peganglah sunnah itu erat-erat), dan berhati-hatilah
kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.’”[ HR. Ahmad dalam
Musnad-nya (IV/126-127) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (‘Aunul Ma’buud
XII/358-360, Kitab “al-Fitan”). Redaksi hadits tersebut adalah milik Abu Dawud.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Tuhfatul Ahwadzi
[VII/438-442]), dan Tirmidzi berkata: “Derajat hadits ini hasan shahih.” Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/15-16, muqaddimah)].
b. Dalil dari atsar
1.
Perkataan ‘Abdullah
bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya
mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan
bid‘ah dan matilah sunnah.” [Al-Haitsami berkata dalam kitabnya, Majmaa’uz
Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para
perawinya adalah orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya).” Lihat Majmaa’uz
Zawaa-id (I/188), Bab “al-Bida’ wal Ahwaa’”. Hadits ini juga diriwayatkan juga
oleh Ibnu Wadhah dalam al-Bida’ (hlm. 39)].
2.
Perkataan ‘Abdullah
bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena
sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.”
Hadits dan atsar di atas menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang
muncul di dalam syara’ (syari‘at Islam) itu tercela. [Al-Haitsami berkata dalam
kitab Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam
al-Kabiir, dan para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahiih.” Lihat
Majmaa’uz Zawaa-id (I/181), Bab “al-Iqtidaa’ bis Salaf”].
Pendapat yang kuat:
Kata bid‘ah itu hanya digunakan untuk menyebut perkara yang
menyalahi sunnah Nabi. Dengan demikian, tidak ada bid‘ah yang terpuji atau
baik. Wallaahu a’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah bahwa kaidah ini, yaitu kaidah
menetapkan hukum bid‘ah atas sesuatu yang makruh, merupakan kaidah umum yang
sangat agung. Kaidah ini merupakan jawaban sempurna atas pendapat yang
bertentangan dengannya. Hal itu disebabkan ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa bid‘ah itu terbagi dua: bid‘ah hasanah (baik) dan bid‘ah qabiihah
(buruk). Mereka beralasan dengan ucapan ‘Umar: ‘Bid‘ah yang terbaik adalah ini
(maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).’”
Namun, orang-orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini
(yakni bahwasanya semua bid‘ah adalah buruk) mengemukakan sanggahan: “Tidak
semua bid‘ah itu sesat.”
Bantahan atas sanggahan tersebut adalah: “Sabda Rasulullah:
‘Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, dan
seluruh bid‘ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat, dan setiap kesesatan
itu akan menjerumuskan ke Neraka,’ juga peringatan beliau terhadap perkara yang
diada-adakan, semua seruan itu merupakan penegasan Rasulullah. Jika demikian,
tidak seorang pun boleh menolak apa yang ditunjukkan nash ini, yaitu celaan
terhadap bid‘ah. Siapa saja yang membantahnya berarti ia termasuk salah seorang
penentang as-Sunnah.”
Tidak seorang pun boleh menentang nash yang umum dari Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam itu, yaitu sabdanya: ‘Setiap bid‘ah itu sesat,’
dengan mementahkan pengertian umum nash tersebut, yaitu dengan mengatakan
bahwa tidak setiap bid‘ah itu sesat. Sebab, perbuatan ini lebih tepat disebut
penentangan terhadap Rasul daripada disebut takwil. [Lihat Iqtidhaa-ush
Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/582-588)].
Adapun shalat Tarawih, shalat ini bukanlah bid‘ah dalam syari’at
(Islam), tetapi termasuk sunnah Nabi. Ketentuan ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan pelaksanaan beliau atas shalat ini
secara berjamaah. Mengerjakan shalat Tarawih secara berjamaah bukanlah bid‘ah,
melainkan sunnah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat
ini secara berjamaah pada tiga malam awal bulan Ramadhan. Namun pada malam
keempat, beliau bersabda:
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ
أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا
“Sesungguhnya keadaan kalian (yang melaksanakan shalat Tarawih
secara berjamaah) tidaklah samar bagiku. Hanya saja, aku khawatir shalat ini
akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu mengerjakannya.”
[HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/251], Kitab “ash-Shalaatut
Taraawih”, no. 2012) dan Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim
[I/524], Kitab “ash-Shalaatul Musaafiriin”, no. 761 dan 178)].
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan
mengapa beliau tidak keluar (pada malam keempat itu), yaitu karena khawatir
shalat Tarawih akan diwajibkan kepada umat Islam. Dengan demikian, diketahuilah
alasan di balik tindakan beliau yang tidak keluar rumah untuk menunaikan shalat
Tarawih berjamaah. Seandainya tidak ada kekhawatiran tersebut, niscaya beliau
akan keluar untuk menunaikannya bersama mereka.
Pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengumpulkan kaum
Muslimin (di masjid untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah) dengan diimami
seorang imam. Ia pun menerangi masjid untuk mereka. Sehingga, keadaan ini—yakni
berkumpulnya mereka di masjid dengan dipimpin seorang imam dan dengan menerangi
masjid—merupakan perbuatan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena
itulah, perbuatan tersebut dinamakan bid‘ah. Sebab dalam bahasa Arab, perbuatan
itu (yakni amalan yang belum pernah dilakukan sebelumnya) memang dinamai
demikian (bid‘ah). Namun, yang dimaksud darinya bukanlah bid‘ah dalam syari‘at.
Pasalnya, sunnah Nabi menghendaki perbuatan itu termasuk bagian amal shalih,
seandainya tidak ada kekhawatiran akan diwajibkannya shalat Tarawih kepada umat
Islam.
Sekarang, kekhawatiran itu telah hilang karena Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam telah wafat, sehingga tidak akan ada wahyu yang
turun untuk mewajibkannya. Karena kekhawatiran akan kewajiban amal tersebut
sudah hilang, maka hilang pula hambatan untuk melaksanakan shalat Tarawih
secara berjamaah. [Ketika itu, yang menjadi imam adalah Sahabat yang mulia
Ubayy bin Ka’ab. Lihat al-Muwaththa’ (I/114)].
Mengenai perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya,
shalat Tarawih berjamaah),” maka perlu diketahui sikap mayoritas orang yang
berargumentasi dengan ucapan Sahabat seperti ini. Jika kita akan menetapkan
suatu hukum syari‘at dengan perkataan ‘Umar —yang notabene merupakan perkataan
Sahabat—yang tidak dipertentangkan, niscaya orang-orang itu akan berkata:
“Perkataan Sahabat bukanlah hujjah (nash yang dapat dijadikan dalil)!” Jika
demikian adanya, bagaimana mungkin mereka menjadikan ucapan Sahabat yang
bertentangan dengan sabda Rasul di atas sebagai hujjah? Padahal, orang-orang
yang meyakini bahwa perkataan Sahabat merupakan hujjah tidak meyakininya
sebagai hujjah apabila bertentangan dengan hadits Nabi!
Dengan kata lain, penggunaan istilah bid‘ah untuk shalat Tarawih
yang diucapkan oleh ‘Umar adalah dalam lingkup pengertiannya secara bahasa
(etimologi), bukan dalam bingkai pengertian syar‘i (terminologi). Sebab,
menurut pengertian bahasa, bid‘ah itu mencakup seluruh perbuatan yang dibuat
pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.
Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala perbuatan
yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab
(dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau
menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, seperti pengamalan terhadap
ketentuan nishab zakat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang
dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah
menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru
pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan
al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang ‘Umar lakukan terhadap kaum
Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat
lainnya di jazirah Arab. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592)].
Sumber :pustakaimamsyafei.com
Posted by
Calung Blogger