Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu bad‘an
wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan
sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u,
artinya sesuatu yangmenjadi awal permulaan.
Dalam al-Qur-an disebutkan:
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.’” (QS.
Al-Ahqaaf: 9)
Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam) bukanlah
Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku yang telah
diutus pula.
Terdapat ungkapan: ‘Fulaanun bid‘in fii hadzal ‘amri,’ yang
artinya Fulan yang pertama kali melakukan perkara ini, tidak ada seorang
pun yang mendahuluinya. Maka dari itu, kata abda‘a, ibtada‘a,
maupun tabadda‘a bermakna melakukan perbuatan bid‘ah.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah.’ (QS. Al-Hadiid:
27)
Ru’bah berkata dalam
sya‘irnya:
andaikata engkau benar bertakwa dan taat kepada Allah
maka tidaklah benar engkau
ada-adakan perbuatan bid‘ah
Lafazh badda‘ahu berarti menjatuhkan vonis
bid‘ah atas seseorang. Adapun Abda’ta syai-a, kalimat ini berarti
kamu membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Al-Badii’ adalah
salah satu asma (nama) Allah, yang bermakna Yang menciptakan dan mengadakan
sesuatu dari ketiadaannya. Dialah pencipta pertama sebelum segala sesuatu ada.
Boleh juga dimaknai dengan mubdi’ (yang mengadakan); atau, makna asal dari kata
bad‘al khalqa artinya yang memulai penciptaan makhluk.
Allah Ta'ala adalah Al-Badii’ (Yang Maha Mencipta), sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
‘Allah pencipta langit dan bumi.’ (QS. Al-Baqarah: 117)
Yakni, yang menciptakan dan yang mengadakan keduanya dari
ketiadaan. Dengan demikian, Allah adalah Yang Maha Mencipta lagi Maha
Mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Kata siqaa‘u badii‘un, artinya tempat air yang
baru. Kalimat Abda‘atil ibilu berarti unta itu berlutut di tengah jalan karena
lemah, sakit, atau letih. Abda‘at hiya, artinya dia (perempuan) letih dan
lemah. Menurut satu pendapat, arti lafazh al-ibdaa’ adalah kelemahan yang
disebabkan oleh kepincangan atau cacat.
Terdapat pernyataan: ‘Ubdi‘a ubdi‘a bihi wa abda‘a,’ yang
artinya hewan tunggangan seseorang keletihan atau mogok (tidak dapat berjalan
lagi), sehingga menyebabkan orang itu tidak bisa melanjutkan perjalanan karena
punggung tunggangannya lelah atau tiba-tiba mendekam, yakni berhenti.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
إِنِّي أُبْدِعَ بِيْ فَاحْمِلْنِي
“Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hewan
tungganganku mogok, maka tolong angkut aku.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya
(III/1506, Kitab “al-Imaarah”, no. 1893)]
Maksudnya, perjalanan orang itu terputus karena hewan
tunggangannya keletihan. Seolah-olah, ia menganggap mogoknya hewan tunggangan
yang seharusnya terus berjalan itu sebagai sesuatu yang baru. Dengan kata lain,
terjadinya sesuatu di luar dugaan atau ia mengalami sesuatu di luar kebiasaan.”
[Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur (VIII/6-8)].
Berdasarkan uraian di
atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata bada‘a adalah mengadakan sesuatu
tanpa ada contoh sebelumnya, secara umum. Ibdaa‘ul ibil, yang berarti keletihan
dan kelesuan unta, juga merupakan sesuatu yang baru mengingat kebiasaan unta
adalah terus-menerus berjalan. Dengan demikian, kata bid‘ah adalah kata benda
turunan dari kata al-ibtida’, seperti halnya kata rif‘ah yang merupakan kata
benda turunan dari kata al-irtifa’, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa
ada contoh sebelumnya. [Lihat al-Bid‘ah karya Dr. Izzat Athiyyah (hlm. 157)].
2. Bid‘ah Secara Terminologi (Syar'i)
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut
terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan
dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang
mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji
maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.
Pendapat pertama:
Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang
tercela.
Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis
Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam kitab
an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh Shahiih
Muslim. [Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155)
Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam
asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang
tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang
bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” [Lihat Hilyatul Auliyaa’
karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)]
Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi bid‘ah:
“Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” [Lihat
Qawaa-idul Ahkaam (II/172)].
Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang diriwayatkan
dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang shalat
Tarawih : “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).”
[HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/250], Kitab “ash-Shalaatut
Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (I/114), dengan
redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”]
Pendapat kedua:
Kata bid‘ah hanya digunakan untuk menyebut amalan-amalan yang
bertentangan dengan sunnah Nabi.
Inilah pendapat asy-Syathibi [Lihat al-I’tisham
(I/37)], Ibnu Hajar al-Asqalani [Lihat Fat-hul Baari
(XIII/253)], Ibnu Hajar al-Haitami [Lihat al-Fataawa
al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)], Ibnu Rajab al-Hanbali [Lihat
Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Lihat
catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul Kaaminah (I/144-160), Dzail
Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul Wafayaat (I/74-80), dan
al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az-Zarkasyi [Lihat
al-Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah sunnah dan bid‘ah telah kami
tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah yang
tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang tidak
diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan atau
dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut termasuk
ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama berbeda pendapat
tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah itu pernah
dilaksanakan pada zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam maupun belum.
Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi kaum yang murtad dan
kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi, mengeluarkan bangsa
Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang semisalnya, maka semua
itu termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.” [Lihat Majmuu’
Fataawa (IV/107-108)].
Al-Imam asy-Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai berikut: “Bid‘ah adalah
suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at,
dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta'ala.”
Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak menggolongkan
perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang mengkhususkan
bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah.
Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat ke dalam
bid‘ah, mereka berkata:
“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang
bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama
dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.” [Lihat al-I’tishaam (I/37)]
3. Beberapa Dalil Pendapat Kedua
a. Dalil dari as-Sunnah
1.
Hadits riwayat Jabir
bin ‘Abdillah ia berkata: “Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya
memuncak, hingga seolah-olah beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan
perang. Beliau bersabda: ‘Siap siagalah kalian setiap saat!’ Setelah itu,
beliau bersabda: ‘(Antara) aku diutus dan (terjadinya) Kiamat adalah seperti
kedua (tangan) ini,” seraya memberi isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari
telunjuk dan jari tengah.’ Beliau meneruskan:أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ‘Amma ba’du, sesungguhnya perkataan
yang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad,
dan perkara yang terburuk adalah perkara baru (bid‘ah), dan setiap bid‘ah
adalah sesat.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim karya
an-Nawawi VI/153-154, Kitab “al-Jumu‘ah”), an-Nasa-i dalam Sunan-nya (III/189,
Kitab “ash-Shalaatul ‘Iedain”) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/17,
muqaddimah)].
2.
Hadits riwayat
al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata: “Pada suatu hari, Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam shalat mengimami kami. Setelah selesai, beliau menghadap ke
arah kami dan menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, hingga membuat air
mata kami berlinang dan hati tergetar. Seorang hadirin berkata: ‘Wahai
Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan. Jika demikian, apa yang
akan engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau menjawab:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ
عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
‘Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada
Allah, selalu patuh dan taat (kepada yang memimpin kalian), meskipun ia seorang
budak dari habasyah (berkulit hitam). Sebab, siapa saja dari kalian yang masih
hidup sepeninggalku pasti akan melihat perselisihan yang begitu banyak. Maka
dari itu, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi
geraham kalian (maksudnya, peganglah sunnah itu erat-erat), dan berhati-hatilah
kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.’”[ HR. Ahmad dalam
Musnad-nya (IV/126-127) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (‘Aunul Ma’buud
XII/358-360, Kitab “al-Fitan”). Redaksi hadits tersebut adalah milik Abu Dawud.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Tuhfatul Ahwadzi
[VII/438-442]), dan Tirmidzi berkata: “Derajat hadits ini hasan shahih.” Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/15-16, muqaddimah)].
b. Dalil dari atsar
1.
Perkataan ‘Abdullah
bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya
mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan
bid‘ah dan matilah sunnah.” [Al-Haitsami berkata dalam kitabnya, Majmaa’uz
Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para
perawinya adalah orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya).” Lihat Majmaa’uz
Zawaa-id (I/188), Bab “al-Bida’ wal Ahwaa’”. Hadits ini juga diriwayatkan juga
oleh Ibnu Wadhah dalam al-Bida’ (hlm. 39)].
2.
Perkataan ‘Abdullah
bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena
sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.”
Hadits dan atsar di atas menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang
muncul di dalam syara’ (syari‘at Islam) itu tercela. [Al-Haitsami berkata dalam
kitab Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam
al-Kabiir, dan para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahiih.” Lihat
Majmaa’uz Zawaa-id (I/181), Bab “al-Iqtidaa’ bis Salaf”].
Pendapat yang kuat:
Kata bid‘ah itu hanya digunakan untuk menyebut perkara yang
menyalahi sunnah Nabi. Dengan demikian, tidak ada bid‘ah yang terpuji atau
baik. Wallaahu a’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah bahwa kaidah ini, yaitu kaidah
menetapkan hukum bid‘ah atas sesuatu yang makruh, merupakan kaidah umum yang
sangat agung. Kaidah ini merupakan jawaban sempurna atas pendapat yang
bertentangan dengannya. Hal itu disebabkan ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa bid‘ah itu terbagi dua: bid‘ah hasanah (baik) dan bid‘ah qabiihah
(buruk). Mereka beralasan dengan ucapan ‘Umar: ‘Bid‘ah yang terbaik adalah ini
(maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).’”
Namun, orang-orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini
(yakni bahwasanya semua bid‘ah adalah buruk) mengemukakan sanggahan: “Tidak
semua bid‘ah itu sesat.”
Bantahan atas sanggahan tersebut adalah: “Sabda Rasulullah:
‘Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, dan
seluruh bid‘ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat, dan setiap kesesatan
itu akan menjerumuskan ke Neraka,’ juga peringatan beliau terhadap perkara yang
diada-adakan, semua seruan itu merupakan penegasan Rasulullah. Jika demikian,
tidak seorang pun boleh menolak apa yang ditunjukkan nash ini, yaitu celaan
terhadap bid‘ah. Siapa saja yang membantahnya berarti ia termasuk salah seorang
penentang as-Sunnah.”
Tidak seorang pun boleh menentang nash yang umum dari Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam itu, yaitu sabdanya: ‘Setiap bid‘ah itu sesat,’
dengan mementahkan pengertian umum nash tersebut, yaitu dengan mengatakan
bahwa tidak setiap bid‘ah itu sesat. Sebab, perbuatan ini lebih tepat disebut
penentangan terhadap Rasul daripada disebut takwil. [Lihat Iqtidhaa-ush
Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/582-588)].
Adapun shalat Tarawih, shalat ini bukanlah bid‘ah dalam syari’at
(Islam), tetapi termasuk sunnah Nabi. Ketentuan ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan pelaksanaan beliau atas shalat ini
secara berjamaah. Mengerjakan shalat Tarawih secara berjamaah bukanlah bid‘ah,
melainkan sunnah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat
ini secara berjamaah pada tiga malam awal bulan Ramadhan. Namun pada malam
keempat, beliau bersabda:
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ
أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا
“Sesungguhnya keadaan kalian (yang melaksanakan shalat Tarawih
secara berjamaah) tidaklah samar bagiku. Hanya saja, aku khawatir shalat ini
akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu mengerjakannya.”
[HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/251], Kitab “ash-Shalaatut
Taraawih”, no. 2012) dan Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim
[I/524], Kitab “ash-Shalaatul Musaafiriin”, no. 761 dan 178)].
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan
mengapa beliau tidak keluar (pada malam keempat itu), yaitu karena khawatir
shalat Tarawih akan diwajibkan kepada umat Islam. Dengan demikian, diketahuilah
alasan di balik tindakan beliau yang tidak keluar rumah untuk menunaikan shalat
Tarawih berjamaah. Seandainya tidak ada kekhawatiran tersebut, niscaya beliau
akan keluar untuk menunaikannya bersama mereka.
Pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengumpulkan kaum
Muslimin (di masjid untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah) dengan diimami
seorang imam. Ia pun menerangi masjid untuk mereka. Sehingga, keadaan ini—yakni
berkumpulnya mereka di masjid dengan dipimpin seorang imam dan dengan menerangi
masjid—merupakan perbuatan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena
itulah, perbuatan tersebut dinamakan bid‘ah. Sebab dalam bahasa Arab, perbuatan
itu (yakni amalan yang belum pernah dilakukan sebelumnya) memang dinamai
demikian (bid‘ah). Namun, yang dimaksud darinya bukanlah bid‘ah dalam syari‘at.
Pasalnya, sunnah Nabi menghendaki perbuatan itu termasuk bagian amal shalih,
seandainya tidak ada kekhawatiran akan diwajibkannya shalat Tarawih kepada umat
Islam.
Sekarang, kekhawatiran itu telah hilang karena Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam telah wafat, sehingga tidak akan ada wahyu yang
turun untuk mewajibkannya. Karena kekhawatiran akan kewajiban amal tersebut
sudah hilang, maka hilang pula hambatan untuk melaksanakan shalat Tarawih
secara berjamaah. [Ketika itu, yang menjadi imam adalah Sahabat yang mulia
Ubayy bin Ka’ab. Lihat al-Muwaththa’ (I/114)].
Mengenai perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya,
shalat Tarawih berjamaah),” maka perlu diketahui sikap mayoritas orang yang
berargumentasi dengan ucapan Sahabat seperti ini. Jika kita akan menetapkan
suatu hukum syari‘at dengan perkataan ‘Umar —yang notabene merupakan perkataan
Sahabat—yang tidak dipertentangkan, niscaya orang-orang itu akan berkata:
“Perkataan Sahabat bukanlah hujjah (nash yang dapat dijadikan dalil)!” Jika
demikian adanya, bagaimana mungkin mereka menjadikan ucapan Sahabat yang
bertentangan dengan sabda Rasul di atas sebagai hujjah? Padahal, orang-orang
yang meyakini bahwa perkataan Sahabat merupakan hujjah tidak meyakininya
sebagai hujjah apabila bertentangan dengan hadits Nabi!
Dengan kata lain, penggunaan istilah bid‘ah untuk shalat Tarawih
yang diucapkan oleh ‘Umar adalah dalam lingkup pengertiannya secara bahasa
(etimologi), bukan dalam bingkai pengertian syar‘i (terminologi). Sebab,
menurut pengertian bahasa, bid‘ah itu mencakup seluruh perbuatan yang dibuat
pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.
Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala perbuatan
yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab
(dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau
menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, seperti pengamalan terhadap
ketentuan nishab zakat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang
dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah
menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru
pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan
al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang ‘Umar lakukan terhadap kaum
Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat
lainnya di jazirah Arab. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592)].
Sumber :pustakaimamsyafei.com
0 komentar:
Posting Komentar